Interaksionisme Simbolik
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebuah interaksi sosial yang sering dijumpai dalam
masyarakat dapat dilihat dengan menggunakan dua sudut pandang, yaitu
fungsionalis dan simbolik. Interaksionisme simbolik sendiri merupakan studi
tentang proses orang- orang menafsir dan memaknai obyek- obyek, kejadian, serta
situasi yang membentuk kehidupan sosial mereka (Karp dan Yoels dalam Amin
Nurdin, 2006: 54).
Paradigma humanistik merupakan sudut pandang utama dalam
interaksionisme simbolik. Maksudnya ialah cara pandang interaksionisme simbolik
akan melihat sebuah fenomena sosial dari sisi individu memaknai fenomena sosial
tersebut. Hal ini dilakukan sebab tindakan humanis manusia merupakan bagian
mikro dari interaksi sosial yang tidak boleh diabaikan.
Adalah perspektif
psikologi sosial yang menjadi dasar bagi interaksionisme simbolik ini. George
Herbert Mead adalah pencetus pertamanya, lalu mulai dikembangkan oleh muridnya
sendiri, Herbert Blumer. Perspektif ini memusatkan perhatian pada hubungan-
hubungan antar- pribadi.
Karya- karya Erving Goffman (1922- 1982) merupakan
kelanjutan dari pemikiran Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya tentang The
Self. Misalnya, The Presentation of Self in Everyday Life (1955)
merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna dari
interaksi. Dengan mengambil konsep mengenai kesadaran diri Mead, Goffman
kembali memunculkan teori peran sebagai teori dasar Dramaturgi. Goffman
mengandaikan kehidupan individu bak sebuah panggung sandiwara, yang lengkap
dengan setting panggung dan akting yang harus dilakukan oleh individu
sebagai aktor kehidupan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah hakikat dari Interaksionisme Simbolik dan Dramaturgi?
2.
Bagaimana implementasi Interaksionisme Simbolik dan
Dramaturgi dalam kehidupan sehari-hari?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Agar Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dan hakikat dari
Interaksionisme Simbolik dan Dramaturgi
2.
Agar Mahasiswa dapat menerapkan pembelajaran Interaksionisme
Simbolik dan Dramaturgi dalam kehidupan sehari-hari
3.
Agar Mahasiswa dapat menganalisis kejadian sehari-hari dalam
konteks Interaksionisme Simbolik dan Dramaturgi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik sejatinya terdiri atas dua penggal kata, yaitu
interaksi dan simbolik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, interaksi didefinisikan sebagai hal,
saling melakukan aksi, berhubungan, mempengaruhi, antarhubungan[1]. Sedangkan definisi dari simbol adalah sebagai
lambang, menjadi lambang, mengenai lambang (2001: 1066).
Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982) menyatakan
bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang
bersifat sosial- psikologis, yang terutama relevan untuk penyelidikan
sosiologis.
Esensi dari interaksi simbolik itu sendiri merupakan suatu aktivitas
komunikasi yang menjadi ciri khas manusia dengan simbol yang memiliki makna
tertentu. (Mulyana, 2003: 59) [2].
Secara sederhana, interaksionisme simbolik dapat dimaknai sebagai suatu
hubungan timbal balik antarpersonal dengan menggunakan simbol- simbol tertentu
yang sudah dimafhumi artinya.
B.
Latar Belakang Interaksionisme Simbolik
Beberapa tokoh seperti George Simmel, William James, Cooley, dan John Dewey
telah menyajikan serangkaian konsep yang bertalian dengan interaksionisme
simbolik. Namun, mereka tidak berhasil membuat suatu sintesa atau sistematisasi
mengenai perspektif tersebut.
|
Sejarah sistematisasi teori interaksionisme simbolik tak dapat dilepaskan
dari pemikiran George Herbert Mead (1863- 1931). Semasa hidupnya, Mead
memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mazhab Chicago,
sebuah mazhab yang memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial.
Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non- verbal dan makna dari
suatu pesan verbal akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non- verbal (seperti body
language, gerak fisik, pakaian, status, dsb.) dan pesan verbal memiliki
makna yang disepakati secara bersama- sama oleh semua pihak yang terlibat
interaksi.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana individu-
individu berpotensi mengeluarkan simbol. Perilaku seseorang dipengaruho oleh
simbol yang diberikan oleh orang lain. Melalui pemberian isyarat berupa simbol
maka kita dapat mengutarakan perasaan,pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan
cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi
simbolik, yang mana ketika itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua mazhab
yang berbeda dalam hal metodologi. Kedua
mazhab itu ialah Mazhab Chicago(1969) yang dipelopori oleh Herbert Blumer dan
Mazhab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn bersama dengan Kimball Young.
C.
Konstruksi Teori Interaksionisme Simbolik
Layaknya sebuah bangunan yang terdiri atas sejumlah
komponen, interaksionisme simbolik pun memiliki tiga elemen.
1)
Sifat- sifat
Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan atas sejumlah ide- ide dasar yang mengacu kepada beberapa masalah
kelompok manusia. Berikut uraiannya secara singkat.
a.
Sifat masyarakat
Secara mendasar, masyarakat atau kelompok manusia berada dalam tindakan dan
harus dilihat dari segi tindakan pula. Prinsip utama dari interaksi simbolik
adalah apapun yang berorientasi secara empiris masyarakat, dan darimana pun
sumbernya, haruslah mengingat kenyataan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan
manusia yang tengah bersama- sama dalam sebuah aksi sosial.
b.
sifat interaksi sosial
Masyarakat merupakan bentukan dari interasksi antar individu. Teori
interaksionisme ini melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana
ataupun sebagai sebuah musabbab ekspresi atau tingkah laku manusia.
c.
ciri- ciri obyek
Posisi teori
interaksionisme simbolik adalah bahwa dunia-
dunia yang ada untuk manusia dan kelompok mereka merupakan kumpulan dari
obyek sebagai hasil dari interaksi simbolis. Obyek adalah sesuatu hal[3] (yang dapat
diindikasikan atau ditunjukkan). Obyek yang sama mempunyai arti yang berbeda
untuk tiap individu. Dari proses indikasi timbal balik, obyek- obyek umum
bermunculan. Obyek- obyek umum inilah yang akan dipandang secara universal.
Blumer menyebutkan bahwa sesuatu obyek memiliki tiga macam bentuk yaitu benda
fisik (things), benda sosial (social things), dan ide (abstract
things).
d.
manusia sebagai makhluk bertindak
Teori interaksionisme simbolis memandang manusia sebagai makhluk sosial
dalam pengertian yang mendalam. Maksudnya ialah manusia merupakan makhluk yang
ikut serta dalam interaksi sosial dengan dirinya sendiri dengan membuat sejumlah
indikasi sendiri, serta memberikan respon pada indikasi. Manusia bukanlah
makhluk yang sekedar berinteraksi lalu merespon, tetapi juga makhluk yang
melakukan serangkaian aksi yang didasarkan pada perhitungan yang matang.
e.
sifat aksi manusia
Manusia individual adalah manusia yang mengartikan dirinya dalam dunia ini
agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi manusia terdiri atas penghitungan
berbagai hal yang ia perhatikan dan kenampakan sejumlah tindakan berdasarkan
pada bagaimana ia menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut,
seseorang harus masuk ke dalam proses pengenalan dari pelakunya agar mengerti
tindakan atau aksinya. Pandangan ini juga berlaku untuk aksi kolektif dimana
sejumlah individu ikut diperhitungkan.
f.
pertalian aksi
Aksi bersama dari situasi baru muncul dalam sebuah masyarakat yang
bermasalah. Proses sosial dalam kehidupan kelompok lah yang menciptakan dan
menegakkan kehidupan kelompok. Aksi bersama mengacu kepada aksi- aksi yang
merubah sangat banyak kehidupan kelompok manusia, dan tidak hanya menyajikan
pertalian horizontal tetapi juga tali vertikal dengan aksi sebelumnya.
g.
Orientasi Metodologis
Menurut
Blumer teori interaksionisme simbolik telah diamati dengan menggunakan dua pendekatan utama yaitu eksplorasi dan
inspeksi [4].
Berangkat dari kedua pemikiran diatas,
muncul beberapa implikasi metodologis para ahli interaksi simbolik terhadap
kehidupan kelompok dan aksi sosial yang dapat kita amati pada empat hal, yaitu
individu, kolektivitas manusia, tindakan- tindakan sosial, serta tindakan yang
memiliki pertalian kompleks.
h.
Prinsip Metodologis
Interaksionisme
simbolik meliputi serangkaian prinsip metodologis yang memiliki perbedaan khas
antara aliran Chicago dan aliran Iowa. Blumer berargumen bahwa metodologi yang
khas untuk meneliti perilaku manusia merupakan metode yang biasa
digeneralisasi. Sebaliknya, Manford Kuhn menekankan kesatuan metode ilmiah,
semua medan ilmiah, termasuk sosiologi harus bertujuan pada generalisasi dan
kesatuan hukum. Mereka tak bisa sepakat mengenai bagaimana suatu hal harus
diteliti. Blumer cenderung menggunakan interspeksi simpatik yang bertujuan
untuk dapat masuk ke dalam dunia cakrawala pelaku dan memandangnya sebagaimana
sudut pandang si pelaku. Para sosiolog, menurutnya, harus menggunakan
intuisinya untuk bisa mengambil sudut pandang para pelaku yang sedang mereka
teliti, bahkan bila diperlukan, juga menggunakan kategori yang sesuai dengan
apa yang ada di benak pelaku.
Sedangkan Kuhn
lebih tertarik dengan fenomena empiris yang sama, namun dia mendorong para
sosiolog untuk mengabaikan teknik- teknik tak ilmiah. Dan menggantinya dengan
indikator- indokator yang tampak, seperti tingkah laku, untuk mengetahui apa
yang sedang berlangsung dalam benak pelaku.
D.
Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
George Herbert Mead menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mengajar di
Universitas Chicago. Bukunya yang berjudul “Mind, Self, and Society”
merupakan kumpulan bahan kuliah yang ia berikan di Universitas Chicago. Dalam
buku tersebut, Mead mendiskusikan tentang mind, self, dan society.
1)
Mind (akal budi)
Bagi Mead,akal budi bukanlah sebuah benda, akan tetapi merupakan suatu
proses sosial. Secara kualitas, akal budi manusia jauh berbeda dengan binatang.
Seumpama kita temui dua ekor kucing yang terlibat perkelahian. Dalam
perkelahian tersebut, sebenarnya, kucing tersebut hanya melakukan tukar menukar
isyarat tanpa bermaksud memberikan pesan. Tidak dapat ditemui adanya
keterlibatan kegiatan mental di dalamnya. Kucing pertama tak pernah berfikir
bahwa ketika kucing kedua mengeramkan giginya, itu merupakan sebuah pesan
kemarahan yang tengah disampaikan oleh kucing kedua. Manusia pun juga melakukan
aksi dan reaksi yang serupa. Bedanya dalam kegiatan aksi dan reaksi yang
dilakukan oleh manusia terdapat suatu proses yang melibatkan pikiran atau
mental.
Kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan bahasa merupakan hal pembeda
antara manusia dengan binatang. Bahasa memberikan kita kemampuan untuk
menanggapi, bukan hanya simbol- simbol yang berbentuk gerak- gerik tubuh,
melainkan juga simbol dalam bentuk kata- kata.
Untuk melanggengkan suatu kehidupan sosial, maka para pelaku sosial harus
menghayati simbol- simbol dengan arti yang sama. Simbol yang seragam menjadi
pendukung utama dalam proses berpikir, beraksi dan berinteraksi dalam kehidupan
masyarakat.
Perbuatan bisa memiliki arti jika kita menggunakan akal budi untuk
menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, sehingga kita bisa menafsirkan
arti dari suatu pikiran dengan tepat. Disinilah letak penting dari suatu arti
bagi Mead (Bernard Raho, 2007: 101)
2)
Self (diri)
Bagi Mead, kemampuan untuk memberi jawaban kepada diri sendiri sebagaiman
ia memberi jawaban terhadap orang lain, merupakan kondisi penting dalam rangka
perkembangan akal budi itu sendiri.
Self, sebagaimana juga mind, bukanlah suatu obyek melainkan suatu proses
sadar yang memiliki beberapa kemampuan. Self mengalami perkembangan
melalui proses sosialisasi. Dalam proses sosialsisasi ini terdapat tiga tahap.
a.
Tahap bermain
Ketika berada pada tahap ini, seorang anak bermain dengan peran- peran dari
orang- orang yang dianggap penting olehnya. Meski sekedar permainan, tahap ini
menjadi penting bagi perkembangan anak karena melalui permainan ini anak akan
belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan orang lain dalam status
tertentu.
b.
Tahap pertandingan
Pada tahap ini, seorang anak terlibat dalam suatu tingkat organisasi yang
lebih tinggi. Para peserta dalam suatu pertandingan mampu menjalankan peran
orang- orang yang berbeda secara serentak dan mengorganisirnya dalam satu
keutuhan. Dalam tahap ini, anak dituntut untuk memperhitungkan peranan- peranan
lain dalam kelompok ketika bertingkah laku.
c.
Tahap generalized other
Dalam tahap ini, seorang anak akan mengarahkan tingkah lakunya berdasaran
pada standar- standar umum atau harapan atau norma masyarakat. Dalam tahap
terakhir ini, anak akan mendasarkan tindakannya berdasarkan norma- norma yang
bersifat universal.
Dalam hubungannya dengan Self
ini, Charles Horton Cooley mengembangkan satu konsep baru yang ia sebut
dengan looking- glass self. Dengan looking- glass self ini,
Cooley bermaksud mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk melihat
dirinya sebagaimana ia melihat obyek yang berada di luar dirinya. Hal ini
berarti bahwa pertama, kita bisa membayangkan bagaimana kita tampil di hadapan
orang lain; kedua, kita dapat membayangkan bagaimana penilaian orang lain
terhadap penampilan kita; ketiga, kita dapat mengembangkan perasaan- perasaan
tertentu sebagai akibat dari bayangan kita terhadap perasaan oran lain.
(Bernard Raho, 2007: 105)
3) Society (masyarakat)
Konsep Mead tentang masyarakt tidak terlalu cemerlang. Ketika Mead
berbicara tentang masyarakat dalam skala makro sebagaiman yang dipikirkan oleh
Durkheim atau Marx, maka yang terlintas dalam benak Mead ialah bahwa masyarakat
tak lebih daripada semacam organisasi sosial dimana akalbudi dan diri dapat
tumbuh disitu. Mead menganggap masyarakat sebagai pola- pola tertentu dari
interaksi. Sedangkan mengenai institusi sosial, ia beranggapan bahwa institusi
sosial tidak lebih dari seperangkat respon atas kebutuhan masyarakat yang
biasa.
3)
Mazhab Chicago
George Herbert Mead
pada umumnya dipandang sebagai pemula utama dari pergerakan, dan pekerjaan nya
[yang] pasti membentuk inti dari Aliran Chicago.
Herbert Blumer,
Mead merupakan pemikir terkemuka, menemukan istilah interaksionlisme simbolik,
suatu ungkapan Mead sendiri tidak pernah menggunakan. Blumer mengacu pada label
ini sebagai “ suatu sedikit banyaknya pembentukan kata baru liar yang di dalam suatu
jalan tanpa persiapan. Ketiga konsep utama di dalam Teori Mead, menangkap di
dalam jabatan pekerjaan terbaik yang dikenalnya, adalah masyarakat, diri, dan
pikiran. Kategori ini adalah aspek yang berbeda menyangkut proses umum yang
sama, sosial anda bertindak. Tindakan sosial adalah suatu sumbu konsep payung
yang mana hampir semua psikologis lain dan proses sosial jatuh. Tindakan adalah
suatu unit yang lengkap melakukan itu tidak bisa dianalisa ke dalam spesifik
sub bagian. Suatu tindakan andangkin sederhana dan singkat, seperti ikatan
suatu sepatu, atau andangkin saja merindukan dan mempersulit, seperti pemenuhan
suatu rencana hidup. Tindakan berhubungan dengan satu sama lain dan dibangun
ujung sepanjang umur hidup. Tindakan andalai dengan suatu dorongan hati; mereka
melibatkan tugas dan persepsi maksud, latihan mental, dengan alternatif berat, dan
penyempurnaan.
Dalam format paling
dasarnya, suatu tindakan sosial melibatkan tiga satuan hubungan bagian: suatu
awal mengisyaratkan dari seseorang, suatu tanggapan untuk isyarat itu oleh yang
lain dan suatu hasil. Hasil menjadi maksud komunikator untuk tindakan. Maksud
berada di dalam hubungan yang triadic dari semuanya.
Hubungan umur dapat
meresap, memperluas dan menghubungkan sampai jaringan diperumit. Para aktor
jauh diperhubungkan akhirnya di dalam jalan berbeda, tetapi kontroversi ke
pemikiran populer, “ suatu jaringan atau suatu institusi tidak berfungsi secara
otomatis oleh karena beberapa kebutuhan sistem atau dinamika bagian dalam:
berfungsi sebab orang-orang pada poin-poin berbeda lakukan sesuatu yang, dan
apa yang mereka lakukan adalah suatu hasil bagaimana mereka menggambarkan
situasi di mana mereka disebut ke atas tindakan." Dengan ini gagasan untuk
sosial bertindak dalam pikiran, kemudian, mari kita lihat lebih lekat di segi
yang pertama dari analisa masyarakat Meadian.
Pertimbangkan
sistem hukum di Amerika Serikat sebagai suatu contoh. Hukum tak lain hanya
interaksi antar hakim, dewan juri, pengacara, para saksi, juru tulis, wartawan,
dan orang yang lain menggunakan bahasa untuk saling berhubungan dengan satu
dengan yang lain. Hukum tidak punya maksud terlepas dari penafsiran dari
tindakan dilibatkan itu semua di dalamnya. kaleng Yang sama dikatakan untuk
aliran / mahzab, gereja, pemerintah, industri, dan masyarakat lain.
Diri mempunyai dua
segi, masing-masing melayani suatu fungsi penting. Menjadi bagian dari yang
menuruti kata hati, tak tersusun, tidak diarahkan, tak dapat diramalkan anda.
Bagi Blumer, obyek
terdiri dari tiga fisik yaitu tipe(barang), sosial ( orang-orang), dan abstrak
( gagasan). Orang-Orang menggambarkan obyek yang dengan cara yang berbeda,
tergantung pada bagaimana mereka biarkan ke arah obyek itu. Suatu polisi boleh
berarti satu hal kepada penduduk dari suatu bagian tertua suatu kota tempat
tinggal minoritas dan kepada hal lain. habitat suatu wilayah hunian indah;
interaksi yang berbeda di antara penduduk dua masyarakat yang berbeda ini akan
menentukan maksud yang berbeda pula.
E.
Aliran Iowa
Manford Kuhn dan
para siswa nya, walaupun mereka memelihara dasar prinsip interaksionisme, tidak
mengambil dua langkah-langkah baru sebelumnya melihat di teori yang
konservatif. Yang pertama akan membuat konsep diri lebih nyata, yang kedua,
buatan yang andangkin pertama, menjadi penggunaan dari riset kwantitatif. Di
dalam yang area belakangan ini, aliran / mahzab Iowa dan Chicago memisahkan
perusahaan. Blumer betul-betul mengkritik kecenderungan dalam ilmu perilaku
manusia untuk menerapkan; Kuhn membangun suatu titik ke lakukan yang terbaru!
Sebagai hasilnya pekerjaan Kuhn beralih lebih ke arah analisa mikroskopik
dibanding mengerjakan pendekatan Chicago yang tradisional.
Seperti Mead dan
Blumer, Kuhn mendiskusikan pentingnya obyek di dalam dunia aktor. Obyek dapat
mengarah pada kenyataan orang: suatu hal, suatu peristiwa, atau suatu kondisi.
Satu- satunya kebutuhan untuk sesuatu yang untuk menjadi suatu obyek adalah
bahwa orang menyebut itu, menghadirkannya secara simbolik. Kenyataan untuk
orang-orang menjadi keseluruhan dari obyek sosial mereka, yang mana selalu
secara sosial digambarkan.
Suatu konsep detik
bagi Kuhn menjadi rencana kegiatan, seseorang pola total teladan perilaku ke
arah obyek ditentukan. Sikap, atau statemen lisan yang menandai adanya
nilai-nilai ke arah tindakan yang mana akan menjadi diarahkan, dan memandu
rencana itu. Sebab sikap adalah statemen lisan, mereka juga dapat mengamati dan
mengukur. Apabila seseorang akan ke perguruan tinggi melibatkan suatu rencana
kegiatan, yang benar-benar rencana besar, memandu dengan satu set sikap tentang
apa yang anda ingin lepas dari perguruan tinggi. anda andangkin dipandu, untuk
sebagai contoh, dengan sikap positif ke arah uang, dan sukes pribadi.
Sepertiga konsep
bagi Kuhn menjadi wawancara lainnya, seseorang yang telah secara khusus
berpengaruh di dalam hidup satu orang. Istilah ini penting khususnya yang
bersinonim lainnya, seperti digunakan oleh Mead. Individu ini memiliki empat
kualitas. Pertama, mereka adalah orang-orang untuk siapa individu secara
emosional dan secara psikologis dilakukan. Ke dua, mereka adalah menyediakan
orang dengan kosa kata umum, pusat konsep, dan kategori. Ketiga, mereka
menyediakan individu dengan pembedaan dasar antara orang lain dan diri pribadi,
mencakup yang merasa peranperbedaan. Keempat, orang lain melakukan komunikasi
wawancara yang secara terus menerus menopang self-concept individu itu.
wawancara Orang lain andangkin adalah di dalam saat ini atau masa lampau;
mereka andangkin menyajikan atau absen. gagasan Yang penting di belakang konsep
adalah bahwa individu ingin bertemu dunia melalui interaksi dengan orang yang
lain tertentu yang sudah menyentuh hidup seseorang di dalam jalan penting.
Akhirnya, kita
datang ke konsep Kuhn yang paling utama tentang diri. Metoda Kuhns meliputi
teori di sekitar diri, dan itu ada di area Ini yang Kuhn paling secara dramatis
meluas ke interaksionisme simbolik. Self-Conception, rencana kegiatan
individu ke arah diri, terdiri dari identitas seseorang, kebencian dan minat,
tujuan, ideologi, dan evaluasi diri. Seperti (itu) self-conceptions adalah
sikap penjangkaran, karena mereka bertindak sebagai kerangka acuan seseorang
yang paling umum untuk menghakimi obyek lain. Semua rencana kegiatan yang
berikut bersumber terutama semata dari self-concept itu. Kuhn
mengenalkan suatu teknik mengenal sebagai Twenty Statement Self-Attitudes
( TST) untuk mengukur berbagai aspek menyangkut diri.
F.
Prinsip- Prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik
Pendukung teori interaksionisme simbolik seperti Blummer dan Mead telah
berusaha mencari dan merumuskan prinsip- prinsip dasar dari teori ini. Beberapa
prinsip tersebut yaitu:
1)
Kemampuan untuk berpikir
Asumsi penting
bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berpikir membedakan interaksionisme
simbolik dari akarnya, behaviorisme. Behaviorisme mempelajari tingkah laku
manusia secara obyektif dari luar. Sedangkan interaksionisme simbolik
mempelajari tindakan sosial dengan menggunakan teknik introspeksi untuk dapat
mengetahui sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial dari sudut pandang
sang aktor[5]. Asumsi ini juga
memberikan dasar yang kuat bagi orientasi teoritis kepada interaksionisme
simbolik.
Para pendukung
teori ini berpendapat bahwa individu- individu di dalam masyarakat tidak
dipandang sebagai makhluk yang dimotivasi oleh faktor- faktor yang bersifat
external yang berada di luar kontrol mereka. Sebaliknya, mereka melihat manusia
sebagai makhluk yang reflektif dan oleh sebab itu maka manusia sanggup
bertingkah laku secara reflektif pula.
Kemampuan untuk
berpikir itu berada di dalam akal budi, yang oleh pendukung interaksionisme
simbolik dibedakan dari otak. Manusia wajib memiliki otak agar dapat
mengembangkan akal budinya, namun otak tidak serta merta dapat menciptakan akal
budi.
2)
Berpikir dan berinteraksi
Orang hanya
memiliki kemampuan untuk berpikir yang bersifat umum. Kemampuan ini harus
dibentuk dalam proses interaksi sosial. Pandangan ini menghantarkan
interaksionisme simbolik untuk memperhatikan satu bentuk khusus dari interaksi
sosial, yakni sosialisasi. Kemampuan manusia untuk berpikir sudah dibentuk
ketika sosialisasi pada masa anak- anak dan berkembang selama sosialisasi
ketika manusia menjadi dewasa. Pandangan interaksionisme simbolik tentang
proses sosialisasi sedikit berbeda dari pandangan teori- teori lainnya. Bagi
teori lainnya, sosialisasi dilihat sebagai proses dimana individu mempelajari
hal- hal yang ada di dalam masyarakat supaya mereka bisa bertahan hidup di
dalam masyarakat. Tetapi bagi interaksionisme simbolik, sosialisasi adalah
proses yang bersifat dinamis. Di dalam proses itu, manusia tak hanya menerima
informasi melainkan ia menginterpretasi dan menyesuaikan informasi itu sesuai
dengn kebutuhannya.
Tentu saja
interaksionisme simbolik tidak hanya tertarik pada sosialisasi saja melainkan
interaksi pada umumnya. Interaksi adalah suatu proses dimana kemampuan untuk
berpikir dikembangkan diungkapkan. Segala macam interaksi menyaring kemampuan
kita untuk berpikir. Lebih dari itu, berpikir mempengaruhi seseorang dalam
bertingkah laku. Dalam kebanyakan tinkah laku, seorang aktor harus
memperhitungkan orang lain dan memutuskan bagaimana harus bertingkah laku
supaya cocok dengan orang lain.
Pentingnya proses
berpikir bagi interaksionisme simbolik nampak pada pandangan terhadap obyek.
Blumer misalnya, membedakan obyek menjadi tiga macam seperti yang telah dibahas
sebelmnya. Obyek- obyek tersebut tidak lebih dari benda yang berada di luar
(outer) namun mereka memiliki arti penting ketika mereka didefinisikan oleh
seorang aktor. Sebatang pohon mempunyai arti yang berbeda untuk seorang
seniman, penyair, petani, tokoh agama, atau tukang kayu.
Individu- individu
mempelajari arti dari obyek tersebut selama proses sosialisasi. Kebanyakan kita
mempelajari arti yang serupa dari beberapa obyek, tetapi dalam hal tertentu
kita bisa memberikan arti yang berbeda kepada obyek yang sama. Namun hal itu
tidak berarti bahwa interaksionisme simbolik menyangkal atau tidak mengakui
esensi dari obyek tersebut. Selembar kertas tetap menjadi selembar kertas dalam
artian biasa. Yang membedakan arti dari selembar kertas tersebut adalah cara
pandang yang berlainan dari orang yang memandangnya.
3)
pembelajaran makna simbol- simbol
Pendukung teori ini
mengikuti Mead dalam menekankan arti pentingnya interaksi sosial. Menurut mereka,
arti tidak berasal dari proses kegiatan mental, tetapi dari proses interaksi.
Pendapat seperti ini berasal dari pragmatisme Mead yang memusatkan perhatiannya
pada aksi dan interaksi manusia dan bukannya pada kegiatan mental yang
terisolir. Karena itu salah satu isi pokok untuk mereka ialah bukan bagaimana
orang secara psikologis menciptakan arti- arti melainkan bagaimanamereka
mempelajari arti- arti yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam interaksi
sosial, orang- orang belajar simbol dan arti. Mereka harus berpikir terlebih
dahulu sebelum memberikan simbol tertentu. Simbol adalah obyek sosial yang
digunakan untuk mewakili apa saja yang disepakati untuk diwakilinya. Misalnya,
bendera merah putih disepakati sebagai simbol bangsa Indonesia. Obyek- obyek
yang merupakan simbol selalu memiliki arti yang berbeda dari apa yang tampak di
dalam obyek itu sendiri.
Pendukung teori
interaksionisme simbolik menganggap bahasa sebagai sistem simbol yang
mahabesar. Kata- kata adalah simbol karena mereka menunjukkan kepada sesuatu
yang lain. Kata- kata memungkinkan terciptanya simbol yang lain.
Simbol- simbol,
pada umumnya, dan bahasa pada khususnya memiliki sejumlah fungsi antara lain:
a.
Simbol-simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan
dunia material dan sosial dengan mengizinkan mereka memberi nama, membuat
kategori, dan mengingat obyek-obyek yang mereka temukan dimana saja.
b.
Simbol- simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk
memahami lingkungannya.
c.
Simbol-simbol mampu meningkatkan kemampuan manusia untuk
memecahkan persoalan. Berbeda dengan binatang yang memecahkan persoalannya
dengan trial and error, maka manusia sanggup untuk berpikir jalan keluar
dari sebuah masalah dengan menggunakan simbol- simbol sebelum bertindak.
d.
Penggunaan simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi waktu,tempat, bahkan diri mereka
sendiri. Penggunaan simbol memungkinkan manusia untuk membayangkan bagaimana
hidup di masa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa membayangkan gambaran
diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain (taking the role of the
other)
e.
Simbol- simbol memungkinkan manusia tidak diperbudak oleh
lingkungannya. Mereka bisalebih aktif daripada pasif dalam mengarahkan dirinya
kepada sesuatu yang mereka perbuat.
4)
Aksi dan interaksi
Perhatian utama
dari interaksionisme simbolik ialah dampak dari arti dan simbol dalam aksi dan
interaksi manusia. Dalam hal ini,mungkin akan
lebih baik bila menggunakan pembedaan yang dibuat oleh Mead tentang covert
behavior (tingkah laku yang tersembunyi) dan overt behavior (tingkah
laku yang terang- terangan).
Covert behavior adalah proses berpikir
yang melibatkan arti dan simbol. Sedangkan overt behavior merupakan
tingkah laku nyata yang dilakukan oleh seorang aktor. Terdapat beberapa overt
behavior yang tidak melibatkan covert behavior. Artinya ialah ada
tingkah laku yang tidak didahului oleh proses berfikir. Covert behavior
inilah yang menjadi pokok perhatian dari interaksionisme simbolik.
Arti dari simbol
yang ada menimbulkan aksi dan interkasi sosial yang khas. Tindakan sosial pada
dasarnya ialah suatu tindakan dimana seseorang bertindak yang didahulu dengan
proses berpikir tentang orang lain yang ada disekitarnya. Dengan kata lain,
manusia selalu memikirkan dampak dari perbuatannya terhadap sekelilingnya.
Dalam proses
interaksi sosial,manusia mengkomunikasikan arti kepada orang lain melalui
simbol. Kemudian orang tersebut menginterpretasikan simbol tersebut dan
mengarahkan tingkah laku mereka berdasarkan interpretasi tersebut. Dengan
demikian, ketika berinteraksi sosial, aktor- aktor terlibat dalamsebuah proses
yang saling mempengaruhi.
5)
Membuat pilihan-pilihan
Oleh karena
kemampuan manusia untuk mengerti akan arti dari simbol, maka manusia dapat
melakukan pilihan terhadap tindakan- tindakan yang diambil. Manusia tidak perlu
menerima begitu saja sebuah arti yang dipaksakan kepada mereka. Sebaliknya
manusia mampu untuk bertindak terhadap sebuah simbol berdasarkan pada penilaian
masing- masing individu.
W.I Thomas dalam
Bernard Raho menyatakan “if men define situations as real, they are real in
their consequences.”[6]
Thomas meyakini kemampuan manusia untuk memberikan definisi situasi yang
spontan yang memungkinkan manusia untk bisa memilih dan memodifikasi arti dan
simbol yang ada.
6)
Diri atau self
Guna memahami
konsep ini lebih dari apa yang dimaksudkan oleh Mead, alangkah baiknya bila
kita memahami terlebih dahulu ide looking- glass self yang dicetuskan
oleh Charles Horton Cooley.
Apa yang dimaksud
dengan looking- glass self oleh Charles Horton Cooley adalah bahwa
manusia mempunyai kemampuan untuk melihat diri sendiri sebagaimana halnya kita
melihat obyek sosial lainnya. Ide tentang looking- glass self ini dapat
dibagi- bagi ke dalam tiga elemen, yakni: pertama, kita membayangkan bagaimana
kita menampakkan diri kepada orang lain; kedua, bagaimana penilaian mereka
terhadap penampilan kita; lalu yang ketiga ialah bagaimana kita mengembangkan
semacam perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan kita tentang penilaian
orang tersebut.
Konsep Cooley
tentang looking- glass self dan konsep Mead tentang Self adalah
sangat penting dalam perkembangan interaksionisme simbolik modern.
Blumer sendiri
mendefinisikan self secara sederhana. Menurutnya, self semata-
mata berarti bahwa manusia bisa menjadi obyek dari tindakannya sendiri. Manusia
berbuat sesuatu terhadap dirinya sendiri dan mengarahkan dirinya ke dalam
tindakan tertentu. Sebuah karya yang cukup kaya tentang self nampak
dalam dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman.
7)
Kelompok dan masyarakat
Menurut Blumer,
masyarakat tidak terbuat dari struktur- struktur yang bersifat makro. Esensi
dari masyarakat ahrus ditemukan dalam aktor dan tindakan- tindakannya.
Blummer ,dalam
Bernard Raho, menyatakan bahwa masyarakat manusia harus dilihat sebagai orang-
orang yang sedang bertindak dan kehidupan masyarakat dilihat sebagai bagian
dari tindakan mereka.
Kehidupan kelompok
adalah keseluruhan tindakan yang sedang berlangsung. Kendati demikian,
masyarakat tidak dibuat dari tindakan yang terisolasi. Didalamnya terdapat
tindakan kolektif yang melibatkan individu- individu yang menyesuaikan tindakan
mereka terhadap satu sama lain. Dengan kata lain, mereka saling mempengaruhi
dalam tindakan. Mead menyebut ini sebagai social act (perbuatan sosial)
dan Blumer menyebutnya sebagai joint action (tindakan bersama).
Blumer tetap mengakui eksistensi dari struktur- struktur sosial yang
bersifat makro. Tetapi dalam pandangannya struktur- struktur itu memiliki
pengaruh yang sangat terbatas di dalam interaksionisme simbolik. Blumer sering
berpendapat bahwa struktur yang bersifat makro tidak lebih penting daripada
semacam kerangka kerja, yang didalamnya aski- aksi kerja kehidupan social
beserta interaksinya terjadi. Struktur- struktur makro memang menetapkan
kondisi dan batasan terhadap tingkah laku manusia, tetapi itu tidak menentukan
tingkah laku itu. Struktur- struktur makro menjadi penting sejauh mereka
menyiapkan simbol- symbol yang berguna bagi aktor untuk bertindak. Struktur-
struktur itu tidak punya arti kalau aktor tidak melekatkan suatu arti. Sebuah
organisasi tidak secara otomatis berfungsi karena dia memiliki struktur atau
aturan- aturan melainkan karena aktor di dalamnya berbuat sesuatu dan perbuatan
itu merupakan hasil dari definisi situasi yang mereka buat.
G.
Premis- Premis Interaksionisme Simbolik
1)
Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu
dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.
2)
Makna adalah produk interaksi sosial. Oleh karena itu, makna
tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
3)
Makna yang diiterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi
sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan
proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya.
H.
Metodologi Penelitian Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik termasuk ke dalam salah satu dari
sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian
sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah dan bukan
lingkungan artifisial seperti eksperimen. Secara lebih jelas Denzin
mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik,
yaitu :
1)
Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian
tuntas.
2)
Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain
yng bertindak (the acting other) dan memandang dunia dari sudut pandang
subjek, namun dalam berbuat demikian peneliti harus membedakan antara konsepsi
realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai realitas
tersebut.
3)
Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek
hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
4)
Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah
harus dicatat.
5)
Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau
perubahan, juga bentuk perilaku yang yang statis.
6)
Pelaksanan penelitian paling baik dipandang sebagai suatu
tindakan interaksi simbolik.
7)
Penggunaaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama
mengarahkan (sensitizing) dan kemudian operasional, teori yang
layakmenjadi teori formal, bukan teori agung (grand theory) atau teori
menegah (middle-range theory), dan proposisi yang dibangun menjadi
interaksional dan universal.
Prinsip bahwa teori atau proposisi yang dihasilkan penelitian berdasarkan
interaksionisme simbolik menjadi universal, sebagaimana diikemukakan Denzin
diatas sejalan dengan pandangan Glaser dan Strauss yang upayanya untuk
membangun “teori berdasarkan data” (grounded theory) dapat dianggap
sebagai salah satu upaya serius untuk mengembangkan metodologi interaksionis
simbolik. Hanya saja, meskipun bersifat induktif, pandangan Glaser dan Strauss
mugkin terlalu idealis bagi sebagian penganut interaksionisme simbolik.
I. Masyarakat sebagai Interaksi Simbolis
Bagi Blumer, masyarakat harus merupakan studi dari tindakan bersama
daripada prasangka terhadap apa yang dirasanya sebagai sistem yang kabur dan
berbagai prasayarat fungsional yang sulit difahami.
Masyarakat merupakan hasil interaksi simbolis dan aspek inilah yang
merupakan masalah bagi sosiolog. Bagi Blumer keistimewaan pendekatan kaum
interaksionis simbolik ialah manusia dilihat saling menafsirkan atau membatasi
masing- masing tindakan mereka dan bukan hanysa saling bereaksi kepada setiap
tindakan itu menurut metode stimulus- respon. Seseorang tidak langsung memberi
respon pada tindakan orang lain, tetapi didasarkan oleh pengertian yang
diberikan kepada tindakan tersebut.
Blumer menyatakan bahwa dengan demikian berarti interaksi manusia
dijembatani oleh penggunaan simbol- simbol,oleh penafsiran, oleh kepastian
makna dari tindakan oran lain disekitarnya. Dalam kasus perilaku manusia,
mediasi ini sama dengan penyisipan suatu proses penafsiran diantara stimulus
dan respon.[7]
Blumer tidak mendesakkan prioritas dominasi kelompok, tetapi melihat tindakan
kelompok sebagai kumpulan dari tindakan individu. Blumer melanjutkan idenya
dengan menambahkan bahwa kehidupan kelompok yang demikian merupakan respon pada
situasi dimana orang menemukan dirinya.
J.
Kritik
Terhadap Interaksionisme Simbolik Blumer
Beberapa kritik utama yang yang ditujukan terhadap
perspektif teori ini yaitu[8]:
1)
Aliran utama interaksionisme
simbolik dituduh terlalu mudah membuang teknik ilmiah konvensional. Eugene
Weinstein daan Judith Tanur dengan tepat menyatakan hal ini: “Hanya karena
kadar kesadaran itu kualitatif, tak berarti pengungkapan keluarnya tak dapat dikodekan,
diklasifikasi, atau bahkan dihitung” (1976:105). Ilmu dan subjektivisme
tidaklah saling terpisah satu sama lain.
2)
M. Kuhn (1964), W. Kolb (1944),
B. Meitzer, J. Petras dan L. Reynolds (1975), dan banyak lagi lainnya yang
mengkritik ketidakjelasan konsep-konsep esensial Meadian seperti : pikiran,
diri, I, dan Me. Lebih umum lagi Kuhn (1964) berbicara tentang
ambiguitas dan kontradiksi dalam teori Mead. Di luar teori Meadin, mereka
mengkritik berbagai konsep dasar teoritisi interaksionisme simbolik yang
dinilai keliru, tidak tepat, dan karena itu tak mampu menyediakan basis yang
kuat untuk membangun teori dan riset. Karena konsep-konsep itu tak tepat, maka
sulit mengoperasionalisasikannya, akibatnya adalah tak dapat dihasilkan
proposi-proposisi yang dapat diuji (Stryker, 1980).
3)
Interaksionisme simbolik dikritik
karena karena meremehkan atau mengabaikan peran struktur berkala luas.
Kritik ini diekspresikan dengan berbagai cara. Misalnya, Weinstein dan tanur
mengatakan bahwa interaksionisme simbolik mengabaikan keterkaitan (connectedness)
dari hasil-hasil (1976:106). Sheldon Stryker menyatakan bahwa pemusatan
perhatian interaksionisme simbolik terhadap interaksi ditingkat mikro berfungsi
“meminimalkan atau menyangkal fakta struktur sosial dan mempengaruhi gambaran
kontrol masyarakat atas perilaku” (1980:146).
4)
Interaksionisme simbolik tak
cukup mikroskopik, mengabaikan peran penting faktor seperti ketidaksadaran dan
emosi (Meltzer, Petras, Reynolds, 1975, Stryker, 1980). Begitu pula,
interaksionisme simbolik dikritik karena mengabaikan faktor psikologis seperti
kebutuhan, motif, tujuan, dan aspirasi. Dalam upaya mereka untuk menyangkal
adanya kekuatan abadi yang memaksa aktor bertindak, teoritisi interaksionisme
simbolik malahan memusatkan perhatian pada arti, simbol, tindakan, dan
interaksi. Mereka mengabaikan faktor psikologis yang mungkin membatasi atau
menekan aktor. Dalam kedua kasus ini, teoritisi interaksionisme simbolik
dituduh membuat “pemujaan mutlak” terhadap kehidupan sehari-hari (Meltzer,
Petras, dan Reynolds, 1975:85). Pemusatan perhatian terhadap kehidupan
sehari-hari ini selanjutnya menandai penekanan berlebihan terhadap situasi
langsung dan “perhatian yang obsesif terhadap situasi sementara, episodik, dan
singkat” (Meltzer, Petras, dan Reynolds, 1975:85)
K.
Interaksionisme Simbolik Erving
Goffman
Salah satu karya yang cukup
penting tentang Self nampak dalam karya Goffman yang berjudul Presentation
of Self in Everyday Life (1959). Konsep Goffman tentang self sangat
dipengaruhi oleh George Mead, khususnya dalam diskusi tentang ketegangan antara
I (sebagai aspek diri yang spontan) dan Me ( sebagai aspek diri
yang dibebani oleh norma-norma sosial).
Ketegangan tersebut terjadi
karena ada perbedaan antara apa yang orang lain harapkan supaya kita berbuat
dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan. Terdapat perbedaan antara
keinginan pribadi dan keharusan yang diharapkan oleh orang lain atau
masyarakat.
Dalam keadaan demikian, maka guna
mempertahankan gambaran diri yang stabil, manusia cenderung melakonkan peran-
peran sebagaimana halnya seorang aktris atau aktor memainkan perannya diatas
panggung pertunjukkan. Oleh sebab itu, Goffman cenderung melihat kehidupan
sosial sebagai satu seri drama atau pertunjukkan dimana para aktor memainkan
peran tertentu. Pendekatan sedemikian ini disebutnya dengan pendekatan
dramaturgi. Dalam pendekatan ini, ia membandingkan kehidupan sosial sebagai
sebuah pertunjukkan diatas panggung. Dalam pertunjukkan itu, panggung berarti lokasi
atau tempat dimana kehidupan sosial itu berlangsung, sedangkan aktor atau
aktris adalah posisi- posisi atau status- status di dalam masyarakat.
Menurut Goffman, diri bukanlah
aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Dramaturgi
Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri.
Saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat
diterimaoleh orang lain. Tetapi aktor menyadari bahwa audien dapat mengganggu
penampilannya,maka dari itu aktor berusaha menyesuaikan diri dengan
pengendalian audien.
Kunci pemikiran Goffman adalah
bahwa jarak peran adalah fungsi status sosial seseorang. Orang yang memiliki
status sosial tinggi lebih sering menunjukkan jarak sosial karena alasan yang berbeda
dengan orang yang berada pada status sosial yang lebih rendah.
L.
Hakikat Self dalam Karya Goffman
Goffman melihat self sebagai hasil interaksi antara aktor dan
penonton. Artinya, self mengarahkan tingkah lakunya sesuai dengan
harapan penonton yang diperoleh aktor ketika berinteraksi dengan penonton.
Gofman mempunyai asumsi bahwa
ketika individu-individu berinteraksi atau memainkan lakon-lakon dalam panggung
sandiwara, maka mereka ingin supaya diri mereka diterima. Tetapi, di pihak
lain, ketika mereka memainkan peran-perannya mereka tetap menyadari kemungkinan
akan adanya penonton yang bisa mengganggu pertunjukan mereka. Oleh karena itu
para aktor harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan
penonton, terutama menyangkut elemen-elemen hal yang bisa mengganggu. Para
aktor itu berharap bahwa Self atau Diri yang mereka tampilkandalam pertunjukan
itu, cukup kuat atau mengesankan sehingga para penonton bisa memberikan
definisi tentang diri mereka itu sesuai dengan keinginan aktor-aktor itu
sendiri.
M.
Dramaturgi
Dramaturgi merupakan pandangan
tentang kehidupan sosial sebagai rentetan pertunjukan drama dalam sebuah
pentas. Diri adalah pengaruh dramatis yang muncul dari suasana yang ditampilkan
(interaksi dramatis), maka ia mudah mengalami gangguan.
Front stage (panggung depan)
bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan.
Front stage dibagi dua, setting pemandangan fisik yang harus ada jika aktor
memainkannya dan front personal berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasan
perasaan dari aktor. Front personal dibagi dua, yaitu penampilan berbagai jenis
barang yang mengenalkan status sosial aktor, dan gaya mengenalkan peran macam
apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu. Back stage ( panggung belakang)
ruang dimana disitulah berjalan skenario pertunjukan oleh tim ( masyarakat
rahasiayang mengatur pementasan masing-masing aktor).
Dalam interaksi terkadang orang
menampilkan kondisi iedal di depan umum dan menyembunyikan keburukan dengan
alasan:
1.
Aktor ingin mengubur kebiasaan buruk masa lalu yang
bertentangan dengan prestasi masa kini.
2.
Aktor ingin menyembunyikan kesalahan yang telah dilakukan
dan menyiapkan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
3.
Aktor memberikan gambaran hasil yang baik dan menyembunyikan
proses yang terlibat dan menghasilkannya.
4.
Aktor merasa perlu menyembunyikan keterlibatan tindakan
kotor dalam upaya menghasilkan petunjukan.
5.
Akor mungkin menyelipkan standar lain dalam melakukan
sesuatu.
6.
Aktor mungkin menyembunyikan penghinaan atasnya atau setuju
dihina asalkan kegiatan yang diinginkan dapat terus berjalan.
N.
Contoh Implementasi Interaksionisme Simbolik dalam Kehidupan
Sehari- hari
Bercakap-cakap
secara online telah menjadi suatu kegiatan favorit jutaan orang. Para remaja
mengungkit-ungkit peristiwa sehari-hari dengan teman-temannya, para kakek nenek
berhubungan dengan cucu, para pengusaha mengukuhkan perjanjian merekadengan
sebuah klik pada suatu tombol “kirim”. Mereka semua mencintai kecepatan
komunikasi online. Mereka mengirimkan surat elektronik ( email) atau memasang
suatu catatan pada chat room, dan dalam sekejap orang diseluruh negara dapat
membaca atau menanggapinya.
Untuk mendukung
tren ini, para pemakai komputer telah mengembankan simbol untuk menyampaikan
rasa humor, kekecewaan, sarkasme, dan suasana hati lainnya. Meskipun simbol ini
tidak sedemikian bervariasi atau spontan seperti isyarat non verbal pada
interaksi tatap muka,simbol-simbol tersebut tetap bermanfaat. Berikut beberapa
contoh tulisan singkatan dengan sentuhan komunikasi yang lucu:
Singkatan
|
Artinya
|
GMTA
|
Orang hebat berpikiran sama
(Great Minds Think Alike)
|
IAB
|
Aku bosan (I Am Bored)
|
LOL
|
Tertawa terbahak-bahak
(Laughing Out Load)
|
ILY
|
Aku cinta padamu (I Love You)
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Interaksionisme
Simbolik adalah suatu teori tentang pribadi atau individu, tindakan sosial,
yang dalam bentuknya yang paling distingtif tidak berusaha untuk menjadi suatu
teori makro dalam masyarkat.
Penjelasan-penjelasan
mengenai tindakan – komponen teoritis – tetap sederhana, tetapi ini bisa
dilihat sebagai suatu pilihanyang sadar dalam rangka menangkap beberapa
kerumitan situasi nyata.
Tugas teoritis yang
ditunjukannya ialah pengembangan dari penjelasan teoritis canggih yang
berlangsung lebih dalam pada aspek-aspek tindakan individu, tanpa kehilangan
kerumitan dari dunia nyata.
B. Saran
Berdasarkan dari makalah ini terdapat banyak
informasi yang terkait mengenai interaksionisme simbolik, akan tetapi sumber yang terlalu
banyak sangat menyulitkan dalam pengumpulan data. Semoga dengan selesainya makalah ini akan menjadi bahan motivasi untuk penyusun mencari
tahu lebih jauh lagi.
|
|||
DAFTAR PUSTAKA
1. Bachtiar, Wardi. Sosiologi
Klasik: dari Comte hingga Parsons. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006
2. Henslin, M James. Sosiologi
dengan Pendekatan Membumi edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007.
3. Nurdin, Amin. Mengerti
Sosiologi. Jakarta: UIN Press. 2006.
4. Poloma, M
Margareth. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
2006.
5. Raho, Bernard SVD.
Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2007.
[3]
http://kbbi.web.id/obyek, diakses 08
Oktober 2013, 22:02
[4]
Merupakan kegiatan pengujian yang lebih intensif dan berfokus pada obyek yang
diamati (source: http://dedymasry.blogspot.com/2013/10/perspektif-komunikasi-antar-manusia.html,
diakses 09 Oktober 2013, 15:00)
[5]
http://didanel.wordpress.com/2011/06/23/tugas-logika-saintific-teoro-interaksionisme-simbol/,
diakses 09 Oktober 2013, 17: 50
[6]
Bernard Raho. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2007), hal 113
[7]
Margareth M.Poloma. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hal 263
[8] http://cahhpurba.blogspot.com/2012/10/teori-metodologi-interaksi-simbolik.html, diakses 11 Oktober 2013, 13: 10
ijin copy ya?
BalasHapusini artikelnya kayanya ada yang translate dari bahasa inggris terus diterjemahin seenaknya :( terutama konsep blumer dan mead
BalasHapus