Positivisme August Comte serta Fakta Sosial dan Solidaritas Sosial Emile Durkheim
Positivisme August Comte serta
Fakta Sosial dan Solidaritas Sosial Emile Durkheim
A. Pengertian
Positivisme
Positivisme
secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat
bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami
sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif
bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian) atau
terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk
berpikir dari akal manusia.[1]
Kata
Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan
positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti,
meyankinkan.[2]
Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada
sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan
data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti
aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan
pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas
dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu
gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia
tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia
tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Dapat
disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu
paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada
kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak
dikaji dalam positivisme.
B. Kelahiran
Filsafat Positivistik
Positivisme
di jadikan sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad
kesembilan belas. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang
meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada
pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui
penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya
spekulasi metafisis dihindari. Ajaran positivisme
timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya
hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa
keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi
diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif sedangkan empirisme menerima juga
pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.[3]August
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis
percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode
penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial
kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan
mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri
filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi
guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang
harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses
perubahan. Comte
menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie
Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis
dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya
itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan
organis antara gejala-gejala sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala.
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif
yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri,
yaitu :
1. Metode
ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode
ini diarahkan pada perbaikan terus menerus
dari syarat-syarat hidup
3. Metode
ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode
ini berusaha ke arah kecermatan
Metode
positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan,
eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam
ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu
untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857), John
Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).
C. Fase
Filsafat Positivistik
Dalam masayarakat terdapat dua fase
filsafat positivistik yaitu statika social dan dinamika social. Statika Sosial
adalah masyarakat sebagai kenyataan dengan kaidah-kaidah yang menyusun tatanan
social. Ini adalah saat dimana masyarakat mulai tersusun atau terbangun. Dengan
statika sosial dimaksudkan semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang
orde, tertib dan kestabilan masyarakat. Antara lain disebut: sistem
perundangan, struktur organisasi, dan nilai–nilai seperti keyakinan, kaidah dan
kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang konkret dan mantap kepada kehidupan
bersama. Statika sosioal itu disepakati oleh anggota dan karena itu disebut
dengan volonte general (kemauan
umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan persatuan, perdamaian,
dan kestabila atau keseimbangan. Tanpa unsur–unsur struktural ini kehidupan
bersama tidak dapat berjalan. Pertengkaran dan perpecahan mengenai hal–hal yang
dasar, sehingga suatu kesesuaian paham tidak tercapai, menghancurkan
masyarakat.[4]Fase selanjutnya adalah dinamika
social yang artinya masyarakat pada saat itu berada dalam penciptaan sejarahnya
dan mulai menanjak dalam kemajuannya dan fase ini adalah fase terakhir menurut
filsafat positvistik.[5]
Dinamika sosial dimaksudkan semua proses pergolakan yang menuju perubahan
sosial. Dinamika sosial adalah daya gerak sejarah tersebut tadi, yang pada
setiap tahap evolusi mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang
setinggi dengan kondisi dan keadaan zaman. Dalam abad ke-18 dinamika sosial
paling menonjol dalam perjuangan dan usaha untuk mengganti gagasan–gagasan
agama yang lama dan konsep–konsep positif dan ilmiah yang baru. Comte telah
belajar dari sejarah dunia, bahwa tiap–tiap perubahan dibidang politik, hukum,
tata pemerintahan, kesenian, agama, ilmu pengetahuan dan filsafat langsung
berkaitan dengan hukum evolusi akal budi. Tiap–tiap tahap baru dalam cara
manusia berpikir menghasilkan bentuk masyarakat yang baru juga.
Pada tahap
religius masyarakat dihayati sebagai kehendak dewa atau Allah. Pemerintahannya
berstruktur feodal dan paternalistis. Hormat besar bagi pemimpin dan pembesar
menjadi wajib. Ekonominya bercorak “militaristis” dalam arti bahwa orangnya
tidak memproduksi sendiri barang kebutuhan mereka, tetapi memetik hasil bumi
atau meramu saja. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, yang
terlihat dari adanya perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap
positivisme sekarang membangun kembali suatu orde baru yang kokoh–kuat, dimana
peranan agama dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang
tangguh dan universal. Sarjana mengganti ulama, dan industriawan mengganti
serdadu ( Storig H.J., dalam Veeger, 1982).[6]
D. Teori
Positivisme August Comte
Auguste
Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience,
dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah
aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari
empirisme. Aliran positivisme merupakan
aliran produk pemikiran Auguste Comte yang cukup berpengaruh bagi
peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan
oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).[7]
Dasar-dasar
filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte.
Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah apa
yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika
ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang
tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi,
setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat
memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Menurut
Comte dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak
boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte,
menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai
arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan
demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat,
diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model
pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan positivisme
ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini
terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang
memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari
aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang
bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya,
karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan,
maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu
pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.
Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan
data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model
pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence)
sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi
Positivisme Comte yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna
yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil)
dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada
hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang
dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah sedangkan
sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan
sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan
pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung
kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan
bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya
bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung),
melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model
pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi
antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable,
dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful
dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan
gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan
sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif,
yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke
umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola
operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan
generalisasi-induktif. Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang
anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara
positif-ilmiah dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang
ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir
(mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki
gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat
positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan
dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan
tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak
mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu
teori.
E. Tahap-Tahap
Pemikiran Manusia
Menurut Comte perkembangan pemikiran
manusia terdiri atas tiga Tahap yaitu Tahap teologik, lalu meningkat ketahap
metafisik, kemudian mencapai tahap akhir yaitu tahap positif.
1. Tahap
Teologik
Tahap ini
menjadi ciri dunia sebelum tahun 1300. Tahap teologik bersifat melekatkan
manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada
zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah
segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu.
Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme,
bermula dari suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda
tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling primitif. Kemudian mempercayai
pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya
masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar
belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki
dewa-dewanya. [8]Tahap teologik bersifat
antropomorfik atau melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau
apa yang ada dibaliknya. Pada tahap teologis pemikiran
manusia dikuasai oleh dogma agama, pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya
pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan terahir
segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari
supernaturalisme, bermula dari fetish yaitu suatu faham yang mempercayai adanya
kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang palin
primitif. Kemudian polyteisme atau mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu
orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari
suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga
tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Kemudian menjadi
monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia
menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad
monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini menurutnya adalah abad kekanak-kanakan.[9]
2. Tahap Metafisik
Tahap ini
menurut Comte berlangsung antara tahun 1300 sampai dengan 1800. Era ini
dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak seperti “alam” dapat
menjelaskan segalanya.[10]
Tahap
metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologik,
karena ketika zaman teologik manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa
mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Pada tahap
metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat dan ketika manusia mencapai tahap
metafisika ia mulai mempertanyaan dan mencoba mencari bukti-bukti yang
meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik menggantikan
kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah abad
nasionalisme dan kedaulatan umum, atau abad remaja.[11]
3. Tahap Positif
Tahap ini
yang diperkirakan terjadi pada tahun 1800 dan seterusnya, merupakan tahap
pamungkas dari hukum tiga tahap, atau bias disebut tahap final. [12]Tahap positif berusaha untuk
menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang tahu bahwa
tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara
teologis ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal dan
tujuan akhir alam semesta atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu
dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala
sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah,
terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada zaman ini menerangkan berarti:
fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Segala gejala
telah dapat disusun dari suatu fakta yang umum saja.[13] Pada tahap
ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang
bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan
sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini
mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
F. Pengaruh
Pemikiran Positivisme
Positivisme
yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan
belas. Di Inggris, Jhon Stuart Mill dengan antusias memerkenalkan pemikiran
Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte
yang diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan
Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian
mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling
berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses.
Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual
terpengaruh oleh Comte.
Di Prancis,
pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang
meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain
yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang
mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik,
psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran
Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte
bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte
baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang
pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di
universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh
mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation
into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak
sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.[14]
G. Kritik
Pemikiran Positivisme
Dalam
sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap
segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi
peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses
sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan
bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
Kritik juga
dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini
didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan
realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung
status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal
memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak
benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran
manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti
dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya
dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan
tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi
yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen
refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini
membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.
H. Fakta Sosial
Emile Durkheim
Fakta sosial
didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa
yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti
lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Dalam
fakta social memiliki 3 karakteristik yaitu: gejala
social bersifat eksternal terhadap individu, fakta social memaksa individu,
fakta itu tersebar luas terhadap masyarakat atau bersifat umum.[15]
Pengertian
fakta sosial meliputi suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan
saja cara-cara bertindak dan berfikir melainkan juga cara-cara berada yaitu
fakta-fakta sosial morfologis, seperti bentuk permukiman, pola jalan-jalan,
pembagian tanah, dan sebagainya. Menurut Emile Durkheim, fakta sosial terdiri
dari dua bagian yaitu :
1.
Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat
disimak, ditangkap, diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini
adalah bagian dari dunia nyata (external world), contohnya arsitektur dan norma
hukum.
2.
Dalam
bentuk non material, yaitu merupakan fenomena yang bersifat inter subjektif
yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme,
altruisme dan opini.
Secara garis besar fakta sosial
terdiri atas dua tipe yakni struktur sosial dan pranata sosial. Sifat dan
hubungan dari fakta sosial inilah yang menjadi sasaran penelitian sosiologi
menurut paradigma fakta sosial. Secara lebih terperinci fakta terdiri atas :
kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan,
nilai-nilai keluarga, pemerintah.sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan
masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga,
pemerintah.[16]
Durkheim
menyajikan contoh-contoh dari fakta social itu. Salah satu diantaranya ialah
pendidikan anak sejak bayi. Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada
waktu tertentu, diwajibkan taat dan menjaga ketenangan serta kebersihan,
diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan.
Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang dikemukakan oleh Durkhei yaitu ada
cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang bersumber pada suatu kekuatan
diluar individu, bersifat memaksa dan mengndalikan individu, dan berada diluar
kehendak pribadi individu. Seorang anak yang tidak menaati cara yang diajarkan
padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar.
Contoh
lain dari fakta social ialah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata
cara berpakaian dan kaidah ekonomi. Fakta social tersebut mengendalikan dan
memaksa individu, karena bila melanggarnya ia akan terkena sanksi. Fakta social
inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi. Sehingga
menurutnya, metode yang harus ditempuh untuk mempelajari fakta social misalnya
metode untuk meneliti suatu fakta- fakta social, untuk menjelaskan funsinya dan
juga untuk menjelaskan factor penyebabnya. Contoh,dalam buku Sucide (1968)
yaitu menjelaskan tentang penyebab terjadinya suatu fakta social yang konkret,
angka bunuh diri.[17]
I. Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala sosial itu benar-benar dapat
dibedakan dari gejala yang benar-benar individual (psikologis) Durkheim
mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik fakta sosial, yaitu :[18]
1. Gejala
sosial bersifat eksternal terhadap individu. Individu sejak awalnya
mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal. Hampir
setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin
sebagai anggota baru dari suatu organisasi dan pernah merasakan adanya norma
serta kebiasaan yang sedang diamati yang tidak ditangkap atau dimengertinya
secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat
sebagai sesuatu yang eksternal.
2.
Fakta itu memaksa individu. Individu
dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi
oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim
katakan : tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang
karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri.
Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial
dengan cara yang negatif atau membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku
yang bertentangan dengan kemauannya kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga
perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan
dengan kemauan individu.
3.
Fakta itu bersifat umum atau
tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu
merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini
bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial
benar-benar bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil
dari sifat kolektifnya ini.
J.
Model Pengataman Fakta Sosial
Durkheim
dalam bukunya yang berjudul “The Rules Of Sosiological Method” memberikan
dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip dasar yang
ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam
hubungannya dengan fakta sosial lainnya.[19]
Ini adalah asas pokok yang mutlak, kemungkinan lain yang besar untuk
menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu
(seperti kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya)
seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.
Prinsip
dasar yang kedua (dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme modern)
adalah bahwa asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua
masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “Lalu apabila penjelasan
mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang
mengakibatkannya (efficient cause) yang menghasilkan gejala itu dan
fungsi yang dijalankannya. Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta
sosial harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi
tentang perbandingan terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk
mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi.
Metoda
perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda
perbandingan terkendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial
tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara
dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam
keadaan, hal ini memberi satu petunjuk penting bahwa tipe fakta itu mungkin
berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable
mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable yang kedua.
K.
Solidaritas
Sosial Durkheim
Menurut
Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada
satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama”.[20]
Solidaritas
menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang
didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama. Sumber utama bagi analisa Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda
dalam solidaritas dan sumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya “The
Devision Of Labour In Society”. Tipe atau jenis solidaritas yang dijelaskan
Durkheim tersebut yaitu:[21]
a.
Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada
suatu kesadaran kolektif bersama, yang
menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata
ada pada
warga masyarakat yang sama itu. Indikator yang paling jelas untuk
solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan itu (repressive). Ciri khas yang penting
dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu
tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya.
Homogenitas serupa itu hanya mungkin
kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
b.
Solidaritas Organik
Solidaritas organik didasarkan pada
tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah
sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan yang memungkinkan dan
juga menggairahkan bertambahnya
perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai
oleh pentingnya hukum yang bersifat
memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam sistem organik,
kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya
karena kesadaran koleftif itu tidak begitu kuat. Selain itu, Durkheim juga membandingkan sifat
pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik dengan sifat
masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik. Perbandingan tersebut
yaitu :
Solidaritas Mekanik
|
Solidaritas Organik
|
- Pembagian
kerja rendah
- Kesadaran
kolektif rendah
- Hukum
represif dominan
- Individualitas rendah
- Konsensus
terhadap pola-pola normatif itu penting
- Peranan
komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
- Saling
ketergantungan itu rendah
- Bersifat
primitif atau pedesaan
|
- Pembagian
kerja tinggi
- Kesadaran
kolektif lemah
- Hukum
restitutif dominan
- Individualitas
tinggi
- Konsensus
terhadap nilai abstrak dan umum itu penting
- Badan
kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang
- Saling
ketergantungan yang tinggi
- Bersifat
industrial-perkotaan
|
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang
sangat kompleks menghasilkan solidaritas organik. Spesialisasi yang
berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan
ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi
dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang mekanis,
misalnya, para petani garam hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin
bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern
yang organik, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain
yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian,
dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin
rumit ini, kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari
kesadaran kolektif. Bahkan seringkali berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu
dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang
memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif. Pelaku suatu
kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan
membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu. Hukuman itu bertindak
lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat
yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif. Ia bertujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks.
Dalam masyarakat modern, masalah begitu kompleks. Ada banyak peran dan
cara untuk hidup sehingga membuat munculnya individualistik. Menurut Durkheim,
ini merupakan dampak dari modernisasi. Bukan hanya kecenderungan individualis
saja. Namun dengan perubahan yang cepat dalam pembagian kerja membuat
masyarakat bingung untuk menyesuaikan dirinya. Bahkan hal ini mengakibatkan
norma-norma yang mengatur mereka banyak yang dilanggar. Masyarakat cenderung
anti sosial atau sering disebut oleh Durkheim anomi. Anomi ini menyebabkan
banyaknya terjadi penyimpangan. Pada saat itu yang sering terjadi adalah kasus
bunuh diri. Di mana potensi individu untuk bunuh diri semakin besar karena
kesolidaritasan atau kebersamaan itu sudah mulai runtuh. Banyak yang lebih
memilih untuk anti sosial, egois, serakah dan lain sebagainya hanya untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
A.
Kesimpulan
Positivisme
secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian
kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi.
Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Menurut
Comte dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak
boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte,
menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai
arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Fakta sosial
didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa
yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti
lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Dalam
fakta social memiliki 3 karakteristik yaitu: gejala
social bersifat eksternal terhadap individu, fakta social memaksa individu,
fakta itu tersebar luas terhadap masyarakat atau bersifat umum.
Menurut
Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada
satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Solidaritas menunjuk pada satu
keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang
dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Echols
John M. Kamus Inggris Indonesia.Gramedia.Jakarta:1982
Dadang
Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, Bumi Aksara, Jakarta:2009
Harun
Hadiwijono.Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Kanisius.
Muslih
Mohamad.Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Ilmu
Pengetahuan.Belukar.Yogyakarta:2006.
Prof.
DR. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah.Bentang Pustaka.Yogyakarta:2006
Soekanto,Soerjono.Emile Durkheim.Aturan-Aturan Metode
Sosiologis.Seri Pengenalan Sosiologi 2.Rajawali. 1985:Jakarta.
http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positivisme.html,
18 September 2013, 16:09
[1] Di akses dari http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positivisme.html,
18 September 2013, 16:09
[2] Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols, Gramedia Jakarta, 1982,
hal 439
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Kanisius,
hal110.
[4] Di akses dari http://penjelajahpantai.blogspot.com/2011/12/statistika-dan-dinamika-sosial.html,
18 September 2013, 16:05
[5]
Ali mudhofir, kamus filsafat barat, hal: 103-104
[6] Di akses dari http://penjelajahpantai.blogspot.com/2011/12/statistika-dan-dinamika-sosial.html,
18 September 2013, 16:05
[7] Prof. DR. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. 2005. Yogyakarta.
Bentang Pustaka
[8] Mohammad Muslih, filsafat ilmu,kajian atas dasar paradigm dan ilmu
pengetahuan, pen: belukar, cet: 3, 2006, Yogyakarta, hal: 91
[9]Di akses dari http://awisbermimpi.blogspot.com/2011/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html, 18 September 2013. 19:06
[10] ibid
[11] Mohammad
Muslih, filsafat ilmu,kajian atas dasar paradigm dan ilmu pengetahuan, pen:
belukar, cet: 3, 2006, Yogyakarta, hal: 91
[12]
Di akses dari http://awisbermimpi.blogspot.com/2011/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html, 18 September 2013. 19:06
[13] Mohammad Muslih, filsafat ilmu,kajian atas dasar paradigma dan ilmu
pengetahuan, pen: belukar, cet: 3, 2006, Yogyakarta, hal: 91
[14] Di akses dari http://faisalfarhan89.blogspot.com/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html,
18 September 2013, 16:20
[15] Di akses dari http://magentarosmaya.blog.fisip.uns.ac.id/2012/07/07/emile-durkheim/,
19 September 2013, 20:00
[16]
Di akses dari http://www.bisosial.com/2012/05/sumbangan-pemikiran-sosiologi-dari.html , 18 September 2013 , 17:00
[17] Di akses dari http://magentarosmaya.blog.fisip.uns.ac.id/2012/07/07/emile-durkheim/,
19 September 2013, 20:00
[18]
Di akses dari http://www.bisosial.com/2012/05/sumbangan-pemikiran-sosiologi-dari.html , 18 September 2013 , 17:00
[19] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, Bumi Aksara, Jakarta:2009
[20] Di akses dari http://magentarosmaya.blog.fisip.uns.ac.id/2012/07/07/emile-durkheim/,
20 September 2013, 17:10
[21] Soekanto,
Soerjono,1985.Emile
Durkheim.Aturan-Aturan Metode Sosiologis.Seri Pengenalan Sosiologi
2.Rajawali. Jakarta.
TERIMAKASIH..sangat membantu (y)
BalasHapusSaya juga sedang menulis hal yang sama, jika rekan-rekan sedang lenggang dapat membaca tulisan saya di https://ilmunegaradanpolitik.blogspot.com/2019/02/teori-positivisme-dan-tokohnya-hans.html
BalasHapus