Teori dan Paradigma Sosiologi

Teori dan Paradigma Sosiologi

A.    Pengertian Paradigma, Teori Sosiologi
1.      Pengertian Paradigma
Paragdima berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupkan kata serapa dari bahasa Latin di tahun 1483 yaitu, Paradigma yang berarti suatu model atau pola, dalam bahasa Yunani Paradigma yang berarti “Membandingkan ”, “ Bersebelahan” dan memperlihatkan. Paradigma juga di artikan sebagai daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut, kerangka berpikir[1]
Paradigma sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan pratik yang di terapakan dalam memandang realitas dalam sebuah komunikasi yang sama khususnya dalam disiplin intelektual. 

2.      Pengertian Teori
Istilah teori sosiologi memiliki arti dan penggunaan yang beraneka ragam. Kenaekaragaman sedemikian ini sering kali membingungkan para sosiolog dan orang-orang yang mempelajari ilmu sosiologi[2]. Berikut adalah pengertian dari teori itu sendiri.
Dalam ilmu pengetahuan, teori adalah model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau fenmena social tertentu. Teori dirumuskan di kembangkan dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Teori merupakan suatu hipoesis yang telah terbukti kebenerannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan meramalkan dan menguasai fenomena tertentu ( misalnya: benda-benda mati, kejadian-kejadian alam atau tingkah laku hewan). Sering kali, teori dipandang sebagai suatu model atas kenyataan (misalnya: apabila kucing mengeong berarti minta makan). Sebuah teori membentuk genelilasasi atas banayak pengamatan dan terdiri atas kumpulan ide yang Koheren dan saling berkaitan. Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia : Teori (Yunani: Teoria, pandangan, tinjau), umunya artinya: pandangan yang gunanya untuk memberi keterangan bagi suatu hal tertentu. Juga dalam ilmu pengetahuan teori itu gunanya untuk membari keterangan bagi gejala-gejala tertentu; tapi umumnya teori dalam ilmun pengetahuan itu berupa sistem yang berdiri atas pelbagai dalil (yang dikutip dari dunia pengalaman) dan hipotesa-hipotesa yang keduanya berdasar pada asas tertentu. Seterusnya istilah teori itu sering pula dipakai sebagai lawan terhadap pengertian praktek atau pengalaman.[3]

3.      Pengertian Sosiologi
Pengertian sosiologi etimologis adalah berasal dari kata Socius yang artinya teman dan Logos yang artinya adalah ilmu. Jadi secara harfiah sosiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang teman. Dan menurut para ahli sosiologi adalah:
a.       Aguste Comte
Sosiologi adalah suatu studi positif tentang hukum-hukum dasar berbagai gejala sosial yang dibedakaan menjadi sosiologi Statis dan sosiologi dinamis.
b.      Emile durheim
Sosiolgi adlah ilmu yang mempelajari fakta sosial. Dimana fakta social itu sendiri adalah cara bertindak, berpikir, dan mampu melakukan dari luar terhadap individu.
c.       Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahamai tindakan-tindakan sosial.[4] Tindakan sosial itu sendiri adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku orang lain.
d.      Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses – proses social termasuk perubahan social.[5]

4.      Pengertian Teori Sosiologi secara umum
Sehingga jika disatukan teori sosiologi meiliki bebrapa arti yaitu :
a.       Teori sosiologi adalah seluruh sesuatu yang mengandung pandangan tentang imu kemasyarakatan atau mempelajari masyarakat.
b.      Teori sosiologi didefinisikan sebagai seperangkat ide yang saling terkait memungkinkan untuk sistematis pengetahuan tentang dunia sosial. Pengetahuan ini kemudian digunakan untuk menjelaskan dunia sosial dan membuat prediksi tentang masa depan dunia sosial.
c.       Teori sosiologi adalah teori yang diarahkan untuk analisis rinci tentang apa yang dilakukan, di katakanya, dan dipikirkan manusia dalam pengalaman sesaat, mencakup teori tentang interaksi, pikiran, peran social, definisi situasi, konstruktif sosial teradap realita, strukturalisme dan pertukaran sosial.
Kesimpulan dari kelompak kami bahawa Teori Sosiologi adalah pandangan atau paradigma yang fokus membahas manusia dari aspek kemasyarakatannya.

B.  PARADIGMA TEORI SOSIOLOGI MENURUT PARA AHLI
1.      Menurut Ibnu Kkhaldun “TEORI SIKLUS SEJARAH”
a.       Biografi Singkat Ibnu Khaldun





Ada kecenderungan untuk menggangap sosiologi sebagai fenomena yang relatif modern, semata-mata sebagai fenomena Barat. Sebenarnya para sarjana telah sejak lama melakukan studi sosiologi dan ada yang berasal dari kawasan lain. Contohnya adalah Abdul Rahman Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, afrika Utara 27 Mei 1332 (Faghirzadeh, 1982), lahir dari keluarga terpelajar, Ibnu Kahldun di masukkan ke sekolah al-Qur’an, kemudian mempelajari matematika dan sejarah. Semasa hidupnya ia membantu berbagai Sultan di Tunisia, Maroko, Spayol dan Aljazair sebagai duta besar, bendaharawan dan anggota dewan penasihat Sultan. Ia pun pernah di penjarakan selama 2 tahun di Maroko karena keyakinannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan. Setelah kurang lebih dua dekade aktif di bidang politik. Ibnu Khaldun kembali ke Afrika Utara. Di situ ia melakukan studi dan menulis secara intensif selama 5 tahun itu meningkat kemasyhurannya dan menyebabkan ia diangkat menjadi guru di pusat studi Islam Universitas Al-Azhar di Kairo.
Dalam mengajar tentang masyarakat dan sosiologi, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya menghubungkan pemikiran sosiologi dan observasi sejarah. Menjelang kematiannya tahun 1400, Ibnu Khaldun telah menghasilkan sekumulan karya yang mengandung berbagai pemikiran yang mirip  dengan sosiologi zaman sekarang. Ia melakukan studi ilmiah tentang masyarakat, riset empiris, dan meneliti sebab-sebab fenomena sosial. Ia memusatkan perhatian pada berbagai lembaga sosial (misalnya lembaga politik dan ekonomi ) dan hubungan antara lembaga sosial itu.
Ia juga tertarik untuk melakukan studi perbandingan antara masyarakat primitif dan masyarakat modern. Ibnu Khaldun tak berpengaruh secara dramatis terhadap sosiologi klasik, tetapi setelah sarjana pada umumnya dan sarjana Muslim khususnya meneliti ulang karyanya, ia mulai diakui sebagai sejarawan yang mempunyai signifikasi historis. [6]
b.      Pemikiran Ibnu Khaldun “TEORI SIKLUS SEJARAH”
Ibnu Khaldun merupakan sejarawan dan filosuf sosial islam tunisia, Ibnu Khaldun (1332-1406) sudah merumuskan sebuah model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras Karya Ibnu Khaldun tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Muqaddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya yang di pandang sebagai karya besar di bidang tersebut. Dari kajian tentang watak  masyarakat manusia , Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota dan masing-masing kehidupan ini memiliki karakteristik tersendiri. Menurut pengamatannya, politik tidak akan timbul terkecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas.
Lebih jauh lagi, ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yng menang , baik dalam slogan, pakaian, kendaraan dan tradisinya. Selain itu, salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang semuanya mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk dalam masa senja. Dengan demikian, kebudayaan itu adalah tujuan masyarakat manusi dan akhir usia senja.
Pendapat Khaldun tentang watak-watak masyarakat manusia dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembng melalui empat fase, yaitu fase primitif atau nomaden fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengatarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Khaldun sering disebut dengan fase pembangunan, pemberi gambar gebira, penurut, dan penghancur.[7]
Di situ juga beliau menghasilkan beberapa karya terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan al-Mubtad Wa al-Khabar. Kitab ini mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Muqaddimah. Sehingga kini kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya dalam ilmu kajian sosial, politik, falsafah dan sejarah.
Istilah sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran Perancis abad ke-19, Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun.
Ibnu khaldun, yang agaknya tepat di sebut sebagai Bapak Ilmu Sosial. Berbeda dengan para pendahulunya ini, karena ia mengemukakan suatu karangan teoritis yang di satu segi di maksudkan ubtuk menjernihkan sejarah, di segi lain kerangka ini memberikan suatu pola deduktif bagi kebiasaan mengumpulkan data para ahli etnografi kala itu.[8]
c.       Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibnu Khaldun manusia di ciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu Makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury). Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’.
Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus di tumbuk dulu, untuk kemudian di bakar sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu di butuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi di butuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. [9]
Sosiologi Masyarakat Peradaban Badwi, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial :
Selain apa yang telah dipaparkan di atas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya.
‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau di sakiti. Ibnu Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة)(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury).
Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badwi, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan.
Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badwi yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah Orang Zuhud.
Orang Badwi lebih berani daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan Orang Badwi hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain.
Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri. Sifat kepemimpinan selalu di miliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan.
Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya. Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain.
Pendapat Ibnu Khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar di padang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu Negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, Negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada Orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas. Akan tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan di gantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial.
 Menurut Ibnu Khaldun apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam, ikatan darah atau persamaan ke-Tuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang di lindungi. Khusus Bangsa Arab menurut Ibn Khauldun, persamaan Ke-Tuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘Ashabiyyah kesukuan atau qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan di kendalikan.
Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘Ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama. Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar.
Dalam kaitannya tentang ‘Ashabiyyah, Ibnu Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.[10]
d.      Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibnu Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3:
1.      Pemerintahan yang natural (Siyasah Thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya teror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai Pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.
2.      Pemerintahan yang berdasarkan nalar (Siyasah ‘Aqliyah), yaitu Pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau Kerajaan Insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu
3.      Pemerintahan yang berlandaskan Agama (Siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibnu Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat.
Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Salat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum. Dari pembagian pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.
e.       Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibnu Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1.      Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.      Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3.      Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara
4.      Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5.      Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.
Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:
1.                           Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
2.                           Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3.                           Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib Negara. Jika suatu Bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan Negara sebagai Sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibnu Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. [11]
Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.[12] Teori siklus gerak sejarah sebagaimana yang dia pikirkan didasarkan pada adanya kesamaan sebagian masyarakat satu dengan masyarakat satu dengan masyarat yang lain. Teori ini sebearnya merupakan tafsir atas pemikiran Khaldun. Khaldun sendiri sebenarnya tidak menyampaikannya secara eksplisit. Satu hal yang disampaikan Khaldun secara eksplisit adalah pemikirannya tentang sejarah kritis.[13]




















A.  Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini yakni teori sosiologi adalah pandangan atau paradigma yang fokus membahas manusia dari aspek kemasyarakatannya. Dan Ibnu Khaldun merupakan sejarawan dan filosuf sosial islam tunisia, Ibnu Khaldun (1332-1406) sudah merumuskan sebuah model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras.
Karya Ibnu Khaldun tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Muqaddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya yang di pandang sebagai karya besar di bidang tersebut .
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: Tahap sukses atau tahap konsolidasi,Tahap tirani, Tahap sejahtera, Tahap kepuasan hati, tentram dan damai, Tahap hidup boros dan berlebihan.  Tahapan-tahapan tersebut kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.












DAFTAR PUSTAKA
Ba-Yunus, Ilyas, Ahmad, Farid. 1985 . Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer. Mizan.
M. Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Kearah Sejarah Dan Teori Sosiologi. Erlanggga.
Suparman, Suparman. 2009. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural Bumi Aksara .
Ritzer.George  , J.Goodman. Douglas. 2011. Teori sosiologi modern , edisi keenam. Jakarta :Kencana Predana Media
http://Muhakbarilyas.blogspot.com/2012/06/pemikira-ibnu-khaldun-tentang-sejarah.html.
http://kamusbahasaindonesia.org













[1]http://kamusbahasaindonesia.org di akses pada 16 september 2013 pukul 10.00 am
[2] Pengantar kearah sejarah dan teori sosiologi. hotman M. Siahaan, Erlanggga,1986.hal. 1.
[4]  Di akses dari http://id.wikipedia.org pada hari senin 16 september 2013 pukul 01.00 pm
[5] Ibid.
[6] George ritzer dan douglas J.Goodman, Teori sosiologi modern , edisi keenam( Jakarta : Kencana Predana Media, 2011 )
[7] Dr. H. Dadang Suparman, M.Pd, Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta : Bumi Aksara, 2009).

[8]Ilyas Ba-Yunus , Farid Ahmad Sosiologi Islam Dan Masyarakat Kontemporer (Bandung Mizan, 1985)  Hal 41.
[9] Muhakbarilyas.blogspot.com/2012/06/pemikira-ibnu-khaldun-tentang-sejarah.html. di akses pada 15 september 2013 pukul 12.25.
[10] Ibid.
[11] ibid
[12] Di akses dari http://id.wikipedia.org pada hari senin 16 september 2013 pukul 01.10 pm
[13] Lot.cit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENYUSUNAN INSTRUMEN NON TES

POPULASI DAN SAMPEL

INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI