KAMBOJA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kamboja
Perkembangan peradaban Kamboja
terjadi pada abad 1 Masehi. Selama abad ke-3,4 dan 5 Masehi, negara Funan dan Chenla bersatu untuk
membangun daerah Kamboja. Negara-negara ini mempunyai hubungan dekat dengan
China dan India. Kekuasaan dua negara ini runtuh ketika Kerajaan Khmer dibangun
dan berkuasa pada abad ke-9 sampai abad ke-13.
Kerajaan Khmer masih bertahan hingga
abad ke-15. Ibukota Kerajaan Khmer terletak di Angkor, sebuah daerah yang
dibangun pada masa kejayaan Khmer. Angkor Wat, yang dibangun juga pada saat itu,
menjadi simbol bagi kekuasaan Khmer.
Pada tahun 1432, Khmer dikuasai oleh Kerajaan Thai.
Dewan Kerajaan Khmer memindahkan ibukota dari Angkor ke Lovek, dimana Kerajaan
mendapat keuntungan besar karena Lovek adalah bandar pelabuhan. Pertahanan
Khmer di Lovek akhirnya bisa dikuasai oleh Thai dan Vietnam, dan juga berakibat
pada hilangnya sebagian besar daerah Khmer. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1594. Selama 3 abad berikutnya, Khmer
dikuasai oleh Raja-raja dari Thai dan Vietnam secara bergilir.
Pada tahun 1863, Raja Norodom, yang
dilantik oleh Thai, mencari perlindungan kepada Perancis. Pada tahun 1867, Raja
Norodom menandatangani perjanjian dengan pihak Perancis yang isinya memberikan
hak kontrol provinsi Battambang dan Siem Reap yang menjadi bagian Thai.
Akhirnya, kedua daerah ini diberikan pada Kamboja pada tahun 1906 pada
perjanjian perbatasan oleh Perancis dan Thai.
Kamboja dijadikan daerah Protektorat
oleh Perancis dari tahun 1863 sampai dengan 1953, sebagai daerah dari Koloni
Indochina. Setelah penjajahan Jepang pada 1940-an, akhirnya Kamboja meraih
kemerdekaannya dari Perancis pada 9 November 1953. Kamboja menjadi sebuah kerajaan
konstitusional dibawah kepemimpinan Raja Norodom Sihanouk.
Pada saat Perang Vietnam tahun
1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk netral. Hal ini tidak dibiarkan oleh
petinggi militer, yaitu Jendral Lon
Noldan
Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS untuk menyingkirkan Norodom
Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom Sihanouk memutuskan untuk
beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menguasai
kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal inilah yang memicu perang
saudara timbul di Kamboja.
Khmer Merah akhirnya menguasai
daerah ini pada tahun 1975, dan mengubah format Kerajaan menjadi sebuah
Republik Demokratik Kamboja yang dipimpin oleh Pol Pot. Mereka dengan segera memindahkan
masyarakat perkotaan ke wilayah pedesaan untuk dipekerjakan di pertanian
kolektif. Pemerintah yang baru ini menginginkan hasil pertanian yang sama
dengan yang terjadi pada abad 11. Mereka menolak pengobatan Barat yang
berakibat rakyat Kamboja kelaparan dan tidak ada obat sama sekali di Kamboja.
Pada November 1978, Vietnam menyerbu
RD Kamboja untuk menghentikan genosida besar-besaran yang terjadi di
Kamboja. Akhirnya, pada tahun 1989, perdamaian mulai digencarkan antara kedua
pihak yang bertikai ini di Paris. PBB memberi mandat untuk
mengadakan gencatan senjata antara pihak Norodom Sihanouk dan Lon Nol.
Sekarang, Kamboja mulai berkembang
berkat bantuan dari banyak pihak asing setelah perang, walaupun kestabilan
negara ini kembali tergoncang setelah sebuah kudeta yang gagal terjadi pada
tahun 1997
2.2 Wilayah
Administrasi
Kamboja dibagi menjadi 20 provinsi (khett) and 4 kota
praja (krong). Daerah Kamboja kemudian
dibagi menjadi distrik(srok), komunion (khum), distrik
besar (khett), and kepulauan(koh).
a. Kota Praja (Krong), dibagi menjadi:
b. Provinsi (Khett):
c. Kepulauan (Koh):
2.3 Keadaan
Geografi
Kamboja
mempunyai area seluas 181.035 km2. Berbatasan dengan Thailand di
barat dan utara, Laos di timur laut dan Vietnam di timur dan tenggara.
Kenampakan geografis yang menarik di Kamboja ialah adanya dataran lacustrine yang terbentuk akibat
banjir di Tonle Sap. Gunung tertinggi di Kamboja adalah Gunung Phnom Aoral yang
berketinggian sekitar 1.813 mdpl.
2.4 Keadaan Ekonomi
Kamboja
merupakan negara agraris. Hasil pertaniannya antara lain : padi, karet, ubi,
jagung, gula, keledai dan sayuran. Hasil tambang utamakamboja adalah batubara,
tembaga, bijih besi, fosfat dan zikronium. Pendapatan perkapitanya sekitar US$
1.775.
Perekonomian
Kamboja sempat turun pada masa Republik Demokratik berkuasa. Tapi, pada tahun
1990-an, Kamboja menunjukkan kemajuan ekonomi yang membanggakan.
Pendapatan per kapita Kamboja meningkat drastis,
namun peningkatan ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara-negara
lain di kawasan ASEAN. PDB bertumbuh 5.0% pada tahun 2000
dan 6.3 % pada tahun 2001. Agrikultur masih menjadi andalan utama
kehidupan ekonomi masyarakat terutama bagi masyarakat desa, selain itu bidang
pariwisata dan tekstil juga menjadi bidang andalan
dalam perekonomian di Kamboja.
Perlambatan
ekonomi pernah terjadi pada masa Krisis Finansial Asia 1997. Investasi asing dan turisme turun
dengan sangat drastis, kekacauan ekonomi mendorong terjadinya kekerasan dan
kerusuhan di Kamboja.
2.5 Keadaan Sosial
Pada pertengahan tahun 2006 jumlah
penduduk Kamboja sebesar 141.000.000 jiwa. Hampir 94% penduduk Kamboja berasal
dari etnis Khemr. Tionghoa 4%, Thai 2%, dan lain-lain 6%. Bentuk pemerintahan
negara Kamboja adalah kerajaan. Negara dipimpin oleh raja, sedangkan kepala
pemerintahannya adalah perdana menteri. Kamboja memiliki lima pemerintahan lokal
dengan ibu kota Phnom Penh. Kamboja pernah dijajah oleh Prancis, lalu merdeka
pada 17 April 1953. Kamboja adalah negara yang sejak tahun 1970 dirundung
malang, dan porak poranda karena kudeta. Pada tanggal 18 Maret 1970, sewaktu
Pangeran Sihanouk pergi ke luar negeri, keponakannya Pangeran Sisowath Sirik
Matak bersama Lon Nol melakukan kudeta. Semenjak itu kemelut semakin besar di
negara Kamboja.
Bahasa resmi penduduk Kamboja
adalah bahasa Khmer. Bahasa lain yang digunakan adalah bahasa Prancis, sebagian
besar penduduk beragama Buddha. Jumlah penduduk negara ini 11.168.000 jiwa.
Sebagian besar penghidupan penduduknya di sektor pertanian. Hasil pertanian di
Kamboja adalah beras, jagung, merica, tembakau, kapas, gula aren, dan lain
sebagainya. Sedangkan hasil tambangnya adalah besi, tembaga, mangan, dan emas.
Hasil industri Kamboja adalah tekstil, kertas, plywood, dan minyak.
BAB III
KAMBOJA
Radikalisme
Rezim Khmer Merah pada Kambodja
Kamboja
menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di
bawah pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot
memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975
sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol.
Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari
rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol
Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.
Pada tanggal 9 November
1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah berlangsung sejak
tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian
mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali
dari pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan
menggelar pemilihan umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil
mengusir orang-orang komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan.
Pada tahun 1955, untuk
melepaskan diri dari segala bentuk pelarangan yang dibuat untuk raja oleh
perundang-undangan Kamboja, Norodom Sihanouk mengembalikan tahta kepada
ayahnya, Norodom Suramarit. Ia kemudian memasuki dunia politik. Selama pemilihan
berturut-turut, pada tahun 1955,1958, 1962 dan 1966, partai bentukan Norodom
Sihanouk selalu memenangkan kursi mayoritas di parlemen.
Pada bulan Maret 1969,
Pesawat Amerika mulai mengebom Kamboja untuk menghalangi jejak dan penyusupan
dari tentara Vietkong. Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973.
Pada tahun 1970, ketika
Sihanouk sedang berada di Moskow dalam sebuah kunjungan kenegaraan, Marsekal
Lon Nol melakukan kudeta di Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk kerajaan
dan menyatakan Kamboja sebagai sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali
ke negaranya dan memilih menetap di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan
dalam pelarian dan Khmer Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.
Pada saat Perang Vietnam
tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk netral. Hal ini tidak dibiarkan
oleh petinggi militer, yaitu Jendral Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS
untuk menyingkirkan Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom
Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang
bertujuan untuk menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal inilah
yang memicu perang saudara timbul di Kamboja.
Peperangan di kamboja
terus berlangsung, kendati penyelesaian politik diupayakan lewat jakarta
informal meeting. Khmer merah di bawah pol pot dan vietnam menanggung dosa,
membantai jutaan rakyat.
Dosa itu terletak pada
kepemimpinan Khmer Merah di bawah Pol Pot, yang selama tiga tahun (1975 sampai
1978) membantai 1,6 juta orang Kamboja secara sistematis atas nama “kemurnian”
bangsa Khmer baru karena Pol Pot yakin bangsa Khmer yang “bersih, murni, baru”
hanya bisa dibangun atas dasar perhitungan tentang zaman baru yang dimulai
dengan tahun nol. Ideologi totalisme inilah biang keladi permasalahan pokok
mengenai Kamboja selang beberapa tahun terakhir.
Dari semula, dosa Pol Pot
dan kliknya dibantu RRC dan Amerika Serikat yang menfaatkan argumen hukum
internasional (yang kebetulan juga didukung rumus politik Gerakan Nonblok)
tentang tak layaknya suatu negara mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain.
Di balik itu adalah rangkaian dendam kesumat yang tersimpan dalam dada pemimpin
RRC mengenai “kekuranganajaran” Vietnam memperlakukan orang-orang Cina selama
1975- 1978.
Nyaris tiga dasawarsa
berlalu sejak rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot digulingkan. Tetapi, sejarah
kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa
sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja maupun dunia internasional.
Tidak heran, bagi wisatawan yang singgah di Kamboja, lokasi-lokasi bekas
peninggalan rezim Khmer Merah sangat diminati untuk disinggahi. Kamp penyiksaan
Tuol Sleng serta "ladang pembantaian" (killing field) Choeung Ek
adalah dua dari segudang bukti kekejaman Pol Pot yang tidak boleh dilewatkan
begitu saja.
Choeung Ek adalah 'ladang
pembantaian' yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun, sebagai
lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh.
Ada sekitar 20.000 orang
dieksekusi di situ. "Sebagian besar korban yang dieksekusi adalah dokter,
pengacara, insinyur, guru, diplomat tinggi, serta kalangan profesional
lain," kata Kosal, lulusan Cambodia Mekong University. Mereka yang
dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni pemerintah
dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu, mereka
yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot,
ditangkap dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang
hanya karena berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing,
punya telapak tangan halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh,
petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain.
Choeung Ek, yang awalnya
lokasi pemakaman warga Tionghoa, berada di kawasan seluas sekitar 2,5 hektare.
Sebetulnya, "ladang pembantaian" Choeung Ek berada di sebuah lahan
terbuka yang sangat luas. Tetapi setelah dilakukan penggalian kuburan massal,
Pemerintah Kamboja menetapkan bahwa ladang pembantaian itu berada di lokasi
seluas 2,5 hektare. Setelah jatuhnya rezim Pol Pot pada 1979, ada 86 dari total
129 kuburan massal di Choeung Ek berhasil digali. Sebanyak 8.985 mayat ditemukan
di lokasi kuburan massal tersebut.
Cabikan pakaian korban
pembantaian hingga kini masih tampak menyembul di sela-sela tanah.
Rumput-rumput liar menyelimuti permukaan tanah yang dipenuhi cerukan-cerukan
bekas kuburan. Serpihan tulang mudah ditemukan, bertebaran di seantero lahan.
Pakaian para korban eksekusi yang lusuh dan lapuk dibiarkan teronggok di bawah
pepohonan. Situasi memang tidak diubah agar pengunjung dapat menangkap atmosfer
yang memilukan. anak-anak juga menjadi korban.
Dari kondisi tengkorak para korban,
setidaknya bisa diketahui eksekusi dilakukan sangat brutal. "Eksekusi
dilakukan tidak dengan ditembak atau cara-cara lain yang dapat menimbulkan
kegaduhan. Korban secara berkelompok digiring ke pinggir lobang kuburan massal
lalu dieksekusi dengan alat-alat pertanian, misalnya cangkul atau pacul, yang
dihantamkan ke bagian kepala," tutur Kosal.
Musik diputar keras-keras dari
megafon yang digantung di "pohon ajaib", untuk meredam lolongan
kesakitan. Korban tidak bisa melarikan diri karena tangan dan kaki dibelenggu,
sementara mata ditutup rapat.
Fakta pembantaian intelektual
Kamboja terbilang mengherankan. Tidak kurang Donna Baker, diplomat dari
Kementerian Luar Negeri Australia yang ikut bersama para wartawan ke Tuol Sleng
dan Choeung Ek, juga mempertanyakan hal itu. "Di Rusia, yang juga negara
komunis, para intelektual tetap diperkenankan hidup. Mengapa di Kamboja mereka
semua dibantai? Apa karena mereka sebelumnya bekerja di bawah rezim Lon
Nol?" kata Donna.
Dari penyelidikan pascajatuhnya Pol
Pot, yang bernama asli Saloth Sar, diyakini dia ingin mengembangkan komunisme
ekstrem. Rezim Pol Pot ingin membangun segala sesuatunya dari awal. Maka, pada
17 April 1975, Kamboja diproklamasikan Pol Pot sebagai negara baru. Ia menyebut
tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari
titik nol. Pol Pot memproklamasikan 17 April 1975 sebagai Hari Pembebasan
(Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan
yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat
Kamboja
Banyak tentara Khmer Merah akhirnya
menyadari ada yang salah dari ideologi komunis ala Pol Pot. Mereka melarikan
diri dari Kamboja dan bergabung dengan pasukan Vietnam untuk menggulingkan
rezim brutal itu. Pol Pot jatuh di tangan tentaranya sendiri yang membelot ke
Vietnam. 7 Januari 1979 adalah hari pembebasan dari cengkeraman rezim Khmer
Merah. Banyak tentara Khmer Merah yang diperkenankan bergabung dengan
pemerintahan Kamboja pasca Pol Pot. PM Hun Sen, misalnya, dulu adalah deputi
komandan resimen Khmer Merah. Tetapi, ia kabur ke Vietnam pada 1977.
Penegakan hukum tetap diberlakukan
ke sejumlah pemimpin papan atas Khmer Merah yang berwatak kriminal, khususnya
Deuch yang bernama asli Kaing Khek Iev. Pada 1975-1979, Deuch menjabat sebagai
Direktur S-21. Sejak 1999, Deuch mendekam di tahanan menanti persidangan atas
pelanggaran HAM.
Harus diakui, menapaki jejak
peninggalan rezim Khmer Merah sungguh tidak nyaman. Perut terasa mual. Tetapi,
wisata ke Tuol Sleng dan "ladang pembantaian" Choeung Ek setidaknya
bisa mengingatkan kita pada sejarah kebrutalan pada masa lalu, yang seharusnya
tidak terulang kembali.
Pada
tahun 1970 di Kamboja terjadi kudeta. Pada waktu itu Kamboja dipimpin oleh
Pangeran Norodom Sihanouk. Pada tanggal 18 Maret 1970 ketika Pangeran Norodom
Sihanouk berada di luar negeri, keponakannya yang bernama Pangeran Sisowath
Sirik Matak bersama Lo Nol melakukan kudeta atau perebutan kekuasaan. Sejak
peristiwa tersebut terjadi perang
saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Keadaan Kamboja menjadi porak poranda, rakyatnya sangat menderita.
saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Keadaan Kamboja menjadi porak poranda, rakyatnya sangat menderita.
Melihat
kejadian yang berlarut-larut di Kamboja tersebut, Indonesia berusaha untuk
mendamaikan pihak-pihak yang bertikai atau berperang dengan cara mempertemukan
mereka dalam suatu perundingan. Akhirnya, dibentuklah Jakarta Informal Meeting
(JIM). Artinya, pertemuan tidak resmi yang diadakan di Jakarta tahun 1988.
Pertemuan di Jakarta dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas sebagai
penengah di antara pihak-pihak yang bertikai. Dengan adanya pertemuan tersebut
pihak-pihak yang bertikai bersepakat untuk melakukan perdamaian. Pertemuan di
Jakarta itu kemudian ditindak lanjuti dengan diselenggarakannya perundingan
perdamaian di Paris Prancis pada tahun 1989.
The
Paris International Conference on Cambodia pada tahun 1991 yang menandai
berakhirnya konflik Kamboja. Secara garis besar pembahasan dalam penyelesaian
masalah Kamboja ini dibagi kedalam empat bagian yakni faktor-faktor yang
menjadi akar konflik di Kamboja, konflik Kamboja sebagai konflik internal yang
akan memberikan gambaran akan latar belakang konflik sejak awal mula terjadinya
pergolakan di dalam negeri sehingga Kamboja terjerumus ke dalam konflik
internal hingga akhirnya klimaks dari konflik ditandai dengan intervensi Vietnam
ke Kamboja yang mengundang reaksi keras dari negara-negara di kawasan serta
komunitas internasional, internasionalisasi konflik Kamboja yang akan
menjelaskan bagaimana fase konflik memasuki tahap internasionalisasi di mana
pendudukan rezim Vietnam di Kamboja tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan
di kawasan, namun juga menentang norma-norma dan hukum internasional yang
berlaku sehingga mengganggu perdamaian dunia, proses penyelesaian konflik
Kamboja melalui fase dialog dan mediasi terhitung sejak digelarnya Jakarta
Informal Meeting di Indonesia pada tahun 1988.
Pasca
invasi rezim Vietnam yang mendirikan pemerintahannya melalui People’s Republic
of Kampuchea (PRK) maka spontan hal ini mendapatkan reaksi yang keras dari
komunitas internasional. Hal yang menjadi esensi dalam perkembangan konflik di
Kamboja ini yaitu kendati dunia telah mengutuk tindakan yang dilakukan oleh DK
melalui perbuatan ketidakmanusiannya, namun intervensi kekuatan asing melalui
penggunakan kekuatan militernya untuk menjatuhkan rezim yang tengah menjadi
sorotan dunia tersebut tetap tidak dapat dibenarkan.
Konflik di
Kamboja selanjutnya memasuki tahap internasionalisasi yang intensif, di mana
tahun-tahun berikutnya perkembangan konflik diwarnai dengan pergolakan di dalam
negeri melalui pihak-pihak oposisi yang masing-masing berupaya untuk
mengumpulkan kekuatan demi menjatuhkan pemerintahan PRK yang tak lain merupakan
kepanjangan tangan Vietnam di Kamboja. Sementara itu, komunitas dunia dalam
kerangka regional maupun global mulai meningkatkan perhatiannya terhadap
konflik yang telah mencapai antiklimaks. ASEAN sebagai organisasi regional
menyadari bahwa implikasi dari pendudukan Vietnam terhadap Kamboja telah
merusak visinya untuk menjadikan suatu komunitas Asia Tenggara yang kelak juga
akan mengikut sertakan Vietnam, Kamboja dan Laos. Invasi ini juga menjadi
perhatian utama ASEAN sebagai aksi solidaritas, Vietnam telah mengancam
keamanan Thailand sebagai salah satu anggota ASEAN yang berbatasan langsung
dengan Kamboja.
Namun
demikian, ASEAN tetap menjaga berbagai batasan yang dihadapi dalam upayanya
untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dilandasi pada pemikiran bahwa konflik
Kamboja pada dasarnya merupakan konflik internal antara kelompok-kelompok Khmer
yang mana ASEAN sebagai pihak luar tidak memiliki kewenangan untuk menghalangi
atau turut campur.
Untuk itu ASEAN lebih mencoba untuk
memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi anggota komunitas internasional serta
memobilisasi dukungan melalui diplomasi kolektif di forum internasional. Selanjutnya
upaya ASEAN untuk menyatukan dukungan dari forum internasional pada akhirnya
berhasil tersalurkan ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juli tahun
1981 menggelar Konferensi Internasional untuk Kamboja yang dikenal dengan nama
International Conference on Kampuchea (ICK). Inilah untuk pertama kali
konferensi tingkat internasional digelar untuk merespon dinamika konflik yang
tengah bergejolak di Kamboja, sehingga konferensi ini bertujuan untuk menemukan
solusi penyelesaian politik yang komprehensif dalam forum multilateral.
Upaya menuju penyelesaian politik
yang menyeluruh dimulai pada tahap regional, di mana dalam menyikapi konflik
Kamboja, ASEAN meletakan dasar pemikirannya atas dua hal yaitu, dinamika
politik, ekonomi, dan sosial dalam tubuh ASEAN sendiri, dan tingkat encaman
eksternal serta situasi regional ataupun internasional yang dapat berpengaruh
terhadap persepsi ASEAN dalam penyelesaian masalah tersebut.
Pada tingkat regional, dimulai sejak
masa jatuhnya rezim pemerintaan Pangeran Sihanouk di tahun 1970, para Menteri
Luar Negeri ASEAN telah mencoba untuk membahas secara intensif konflik yang
mulai marak di Kamboja. Negara-negara yang tergabung dalam forum ASEAN ini
berupaya untuk mencapai suatu kesepakatan bersama agar dapat merumuskan
formulasi yang tepat, sehingga pada mulanya organisasi ini dapat berfungsi
sebagai mediator untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai pada saat itu.
Negara-negara menginginkan agar seyogyanya setiap pihak dapat bekerja sama
dalam mencegah semakin luasnya konflik yang melanda Kamboja sebagai
penghormatan atas Piagam PBB dan juga Konferensi Jenewa tahun 1954 mengenai
kawasan Indochina demi menciptakan suasana yang kondusif di Kamboja. Terhitung
sejak dibentuknya CGDK sebagai koalisi pemerintahan pada tahun 1982,
negara-negara ASEAN secara aktif mendukung resolusi PBB yang mengakui CGDK
sebagai badan pemerintah yang sah di Kamboja, dan untuk itu memiliki legitimasi
dan hak untuk duduk di Majelis Umum PBB sebagai wakil Kamboja. ASEAN melalui
para Menlunya pada tanggal 21 September 1983 mengeluarkan keputusan bersama
terhadap upaya rekonsiliasi di Indochina dengan penarikan keluar pasukan
Vietnam dari Kamboja dengan batas waktu yang ditentukan.
Selanjutnya dalam komunikasi bersama
pertemuan tingkat menteri ASEAN ke 17 yang digelar di Jakarta tanggal 9-10 Juli
1984, para menlu ASEAN menegaskan kembali posisi mereka untuk mencari
penyelesaian politik yang komprehensif dan menguatkan keabsahan kemerdekaan
Kamboja pada 21 September 1983 sebagai dasar dari penyelesaian politik yang
menyeluruh di Kamboja. Hal ini kembali ditegaskan pada serangkaian pertemuan
Menlu ASEAN berikutnya yaitu di Jakarta pada November 1983, di Kuala Lumpur
pada bulan Desember 1983 dan kembali di Jakarta pada bulan Januari 1984.
Selanjutnya ASEAN mengajukan
prakarsa untuk mengundang faksi-faksi yang bertikai di Kamboja agar turut hadir
pada peringatan 30 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1985.
Dalam pertemuan ini Indonesia dan Malaysia kembali memiliki kesamaan pandangan
terhadap penyelesaian konflik Kamboja dengan mencetuskan gagasan Proximity
Talks. Pada intinya usulan yang berada di bawah ruang lingkup ASEAN ini
bertujuan untuk mempertemukan semua faksi yang bertikai di Kamboja ditambah
dengan Vietnam untuk bernegosiasi.
Bagi ASEAN sendiri, upaya ini
dilandaskan pada konsep Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) yang
dicanangkan pada tahun 1971. ZOPFAN menjamin perdamaian, keamanan serta
kedaulatan bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang netral dan bebas
dari campur tangan pihak luar. Di tingkat global, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pada tahun 1981, PBB menggelar Konferensi Internasional untuk
Kampuchea (ICK) yang walaupun dinilai tidak terlalu berhasil, namun konferensi
ini telah membangun suatu pondasi prakarsa untuk secara konsensus mengupayakan
solusi yang komprehensif untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia.
Gagasan pembicaraan intensif antara
ASEAN dan pihak-pihak yang bertikai di Kamboja yaitu CGDK dan pemerintahan Heng
Samrin di Phnom Penh pada perkembangannya kurang mendapat dukungan dan menemui
jalan buntu, baik secara kolektif dari negara-negara ASEAN, maupun dari pihak
CGDK dan Vietnam sendiri. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada bulan September
1985, Sihanouk mengusulkan suatu Cocktail Party yang dapat mengakomodir
pihak-pihak yang bersengketa di Kamboja beserta negara-negara yang terkait
untuk dapat membicarakan penyelesaian masalah Kamboja.
Pada bulan November 1985 atau kurang
lebih dua bulan setelah itu, Indonesia menyatakan kesediaannya untuk menjadi
tuan rumah penyelenggaraan Cocktail Party tersebut. Terhitung sejak wacana
Cocktail Party direncanakan, hingga penentuan tanggal pelaksanaan acara
tercatat serangkaian kendala yang berpotensi untuk menggagalkan penyelenggaraan
acara dimaksud. Munculnya berbagai kendala ini tak lain disebabkan oleh
perbedaan pendapat dan agenda kepentingan masing-masing pihak yang bertikai
Kendati jalan panjang dan melelahkan harus dilewati untuk merealisasikan
rencana gagasan pertemuan tersebut, akhirnya rencana pertemuan resmi pertama
tersebut berhasil diadakan pada tanggal 25–28 Juli 1988 di Bogor, Indonesia.
Pertemuan yang dikenal dengan
Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini menampilkan terobosan untuk pertama
kalinya, di mana pihak-pihak yang secara langsung terlibat di dalam konflik,
yaitu keempat faksi, kedua tetangga Indochina dan enam negara ASEAN bertemu
untuk mendiskusikan elemen-elemen mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun
pembicaraan antar faksi berjalan cukup alot karena masing-masing bersikeras
mempertahankan posisinya, namun hasil dari pertemuan ini dinilai cukup efektif
untuk menyepakati persepsi dan kesepahaman bersama sehingga beberapa
rekomendasi dapat dilahirkan dengan penekanan pada pemisahan dua isu yaitu
berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari
Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian konflik, kesepahaman mengenai
pentingnya pencegahan berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja guna
membahas elemen-elemen dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun
usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi pertemuan selanjutnya.
Dalam rangka menindaklanjuti JIM I,
pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM II yang turut dihadiri oleh
negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat disepakati berbagai
kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan penyeragaman persepsi
dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang menonjol diantaranya adalah
penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus segera dilakukan dengan batas
waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari kerangka penyelesaian politik yang
menyeluruh. Kemudian dibahas pula mengenai himbauan penghentian keterlibatan
pihak asing termasuk dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-masing
pihak yang bertikai di Kamboja.
Demi terselenggaranya rencana ini
dengan baik, maka perlu dibentuk suatu mekanisme pengawasan internasional yang
memiliki mandat untuk memonitor jalannya proses ini dan aspek-aspek yang
terkait lainnya. Selanjutnya adalah penentuan langkah-langkah konkrit yang
harus diambil guna mengantisipasi munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan
dan kekejaman yang dapat mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan
yang tidak ketinggalan adalah kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya
program internasional dalam rangka pemulihan dan pembangunan ekonomi di Kamboja
serta negara-negara di kawasan dan pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan
proses perdamaian di Kamboja. Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4 Juli
1989 telah memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai
hasil dari pertemuan JIM I dan JIM II. 3
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Khmer Merah (seringkali disebut Khmer Rouge, yang
merupakan namanya dalam Bahasa
Perancis) adalah cabang militer
Partai Komunis Kampuchea (nama Kamboja kala itu). Khmer adalah nama suku bangsa yang mendiami negara ini.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, Khmer Merah melaksanakan perang gerilya
melawan rezim Pangeran Shihanouk dan Jendral Lon Nol. Pada bulan April 1975, Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kamboja. Ia
memerintah sampai tahun 1979 dan dalam masa pemerintahannya, terjadi pembunuhan massal terhadap
kaum intelektual dan lain-lain. Setelah diusir oleh orang Vietnam, Khmer Merah masih bercokol di daerah hutan di Kamboja.
Sudah sekian lama PBB mencoba mendirikan sebuah tribunal untuk mengadili para anggota Khmer
Merah. Tetapi upaya ini secara kontinu dijegali oleh banyak politisi Kamboja
karena banyak yang memiliki hubungan dengan Khmer Merah. Akhirnya dicapai
kompromi pada tanggal 3 Oktober 2004 di mana akhirnya pemerintah mendukung didirikannya sebuah tribunal
wah lengkap banget min artikelnya, cukup menarik
BalasHapusijin promo ya min Tempat Angker di Kamboja